Rabu, Oktober 07, 2009

Ekonomi Tanpa Riba Sebagai Alternatif

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya bunga bank. Sementara pihak menyayangkan fatwa MUI tersebut. Bagi ketua BPPN saat itu, Syaefudin Temenggung misalnya, fatwa haramnya bunga bank adalah tidak perlu karena baginya dengan mengutip pendapat Bung Hatta bahwa bunga bank adalah halal kalau untuk kepentingan pembangunan. Begitu juga bagi KH. Abdurrahman Wahid yang berpendapat bahwa bunga bank haram kalau ditujukan untuk kepentingan konsumtif dan halal kalau untuk kepentingan produktif. Terlepas dari pandangan yang kontra terhadap fatwa MUI tersebut, melalui tulisan ini ada beberapa hal yang ingin kita ketengahkan tentang aspek ideologis dan sosiokonomis tentang kondisi realitas yang berkenaan dengan perkembangan ekonomi tanpa riba di dunia dan di dalam negeri.
Ekonomi tanpa riba sesungguhnya mempunyai latar belakang keagamaan yang luas, dimana semua agama samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani) melarang aktivitas ini. Kitab-kitab agama Yahudi dan Nasrani melarang riba sebagai berikut: Antara lain lihat Kitab Ulangan (Deuteronomy) pasal 23 ayat 19, Kitab Keluaran (Eksodus) pasal 22 ayat 25, Kitab Imamat (Levicitus) pasal 35 ayat 7, Injil (Bible) dan Lukas 6:34-35. Sedangkan dalam Kitab Suci Al Qur’an terurai jelas dalam sejumlah ayat antara lain; QS 2: 275-276; 278-279, QS 3: 130; QS 4: 160-161; QS Ar-Ruum : 39 (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas seperti tersebut dalam Shahih Al-Jami’ ash-Shaghir (679)).
Demikian pula para pembuat undang-undang dan filosof seperti Solon, perancang undang-undang Athena lama, dan Plato. Sedangkan Aristoteles memandang bunga, apapun sumbernya, adalah suatu penghasilan yang tidak wajar karena diambil dari jerih payah kerja orang lain. Ia berpendapat bahwa “uang tidak melahirkan uang (dengan sendirinya)” dan barang siapa mengembangbiakkannya dengan kerja maka ia lebih berhak mendapatkan hasilnya.
Dalih-dalih pendukung riba dan kelemahannya
Dalam kesempatan ini perlu juga kita sampaikan apa yang menjadi argumentasi para pendukung riba. Para ekonom pendukung riba berusaha mencarikan dalih-dalih untuk menjustifikasi riba. Mereka berdalih bahwa pemilik uang daripada meminjamkannya, ia dapat membelanjakannya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya yang sekarang dan lebih mendesak dari kebutuhannya yang akan datang. Tetapi ia mengorbankan kebutuhannya yang sekarang dan mengutamakan untuk menunggu. Dengan demikian, ia telah memiliki modal sebagai hasil dari penantian ini. Penantian dan pengorbanan ini harus dihargai. Harga atau buah dari penantian ini adalah bunga. Jadi bunga adalah kompensasi penantian atau kompensasi modal.
Dalih ini dibantah karena dasar pemikirannya sangat lemah. Karena penyimpanan (ungkapan lain untuk penantian atau pengorbanan keperluan yang sekarang) tidak semuanya dengan motivasi mengorbankan kebutuhannya yang sekarang. Sebab kadangkala kebutuhan seseorang telah terpenuhi semuanya sehingga hartanya menumpuk melebihi kebutuhan. Di sini jelas tidak ada penantian atau resiko. Maka atas dasar apa orang seperti ini menerima bunga, selama ia tidak mengalami resiko berupa tidak terpenuhinya kebutuhannya yang sekarang dan tidak bersusah payah menanti untuk memenuhi kebutuhannya yang akan datang?
Para pendukung riba juga berargumentasi: “Sesungguhnya keuntungan yang didapat oleh peminjam dari pengelolaan uang yang dipinjamnya berasal dari hasil perpaduan antara kerja dan modal. Bagaimanakah anda memberikan hak keuntungan bagi pekerja tetapi anda tidak memberikan hak keuntungan bagi modal, padahal modal tersebut adalah patner dan serikatnya dalam hasil ini?”
Jawaban terhadap kesalahpahaman ini, Muhammad Abdullah Darraz menjawab dengan mengatakan: “Adapun keuntungan tersebut memang bukan hasil dari satu unsur tetapi hasil dari dua unsur yang berpadu. Tak diragukan lagi memang demikian halnya. Tetapi para pembantah melihat sesuatu yang esensial dan substansial, yaitu bahwa begitu terjadi kontrak pinjam, maka kerja (pengelolaan) dan modal menjadi berada di tangan satu orang, dan tidak ada lagi hubungan pemberi pinjaman dengan modal tersebut. Bahkan peminjam menjadi pihak yang berwenang sepenuhnya untuk mengelolanya, baik mendapatkan keuntungan maupun kerugian. Seandainya modal tersebut musnah atau bangkrut maka menjadi tanggung jawabnya sendiri. Seandainya kita bersikeras untuk menyertakan pemberi pinjaman dalam mendapatkan keuntungan yang dihasilkan, maka pada saat yang sama kita harus menyertakannya dalam menanggung kerugian yang terjadi. Karena setiap hak pasti ada kewajiban atau seperti yang dikatakan Nabi SAW:
“Pemilikan hasil dan manfaat barang dengan jaminan” (HR. Syafi’i, Ahmad, Ashhabus Sunan, Thayalisi dan Thahawil)”.
“Sedangkan jika kita jadikan timbangan bergerak dari satu pihak, maka hal itu bertentangan dengan tabi’at. Jika kita bersedia menyertakan pemilik modal dalam keuntungan dan kerugian sekaligus, maka persoalannya akan beralih dari topik pinjaman kepada bentuk hubungan bisnis yang lain, yaitu badan usaha bersama yang hakiki antara modal dan usaha. Bentuk syirkah ini tidak dilalaikan oleh undang-undang Islam bahkan diperbolehkannya dan ditatanya dengan nama “mudharabah” atau “qirodh”. Mudhorobah ini adalah suatu bentuk kerja sama (patnership); disatu pihak bank menyediakan dana, sedangkan pihak lainnya (mudharib) menyiapkan keahlian dan manajemen. Setiap keuntungan (profit) yang didapat akan dibagi (sharing) berdasarkan persetujuan sebelumnya antara pihak bank dan mudharib. Namun agar pemilik modal bersedia tunduk pada hubungan kerja macam ini, ia harus memiliki keberanian moral untuk menghadapi masa depan dengan segala kemungkinannya. Ini adalah suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh para investor ribawi karena menginginkan keuntungan tanpa resiko”.
Dengan demikian jika kita berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ekonomi secara rinci, kita hanya punya pilihan antara dua sistem. Sistem dimana pemilik modal dan pengelola saling menanggung bersama dalam keuntungan dan kerugian ataukah sistem dimana pemilik modal hanya ikut serta dalam keuntungan dan tidak ikut serta menanggung kerugian. Tidak ada alternatif ketiga kecuali berupa penggabungan dari kezhaliman dan ketidakadilan”.
Sistem ekonomi moneter dan finansial yang konvensional (ribawi) melahirkan ketidakdisiplinan pasar yang built in (melekat) dalam sistem tersebut sebagaimana yang diungkapkan ekonom muslim Pakistan, M. Umer Chapra (2000) yang mengatakan bahwa ketidakdisiplinan pasar ini terjadi karena sebagai berikut: “Dalam sistem moneter konvensional saham para deposan dan banker tidak dikenai resiko bisnis, namun sistem ini memberikan jaminan kepada mereka dengan pembayaran kembali depositonya atau pokok hutangnya ditambah bunga. Hal ini membuat deposan kurang memperhatikan kesehatan lembaga finansial. Ini juga membuat bank lebih mengandalkan pada jaminan kolateral untuk memberikan pembiayaan; praktis untuk semua tujuan termasuk spekulasi. Namun kolateral tidak dapat menjadi pengganti bagi suatu evaluasi yang lebih hati-hati terhadap proyek yang diberikan pembiayaan. Ini disebabkan nilai kolateral itu sendiri dapat dicederai oleh faktor-faktor yang sama, yang memudarkan kemampuan peminjam untuk mengembalikan peminjaman. Dengan demikian, kemampuan pasar untuk memaksakan disiplin yang diperlukan menjadi rusak dan menimbulkan ekspansi tidak sehat dalam keseluruhan penyaluran kredit, sampai batas yang berlebihan dan mendorong hidup melebihi kemampuan.
Tidak adanya disiplin pasar ini, menurut Chapra akan berakibat sistem finansial internasional telah mengalami beberapa kali krisis selama dua dasawarsa terakhir. Diantaranya yang terpenting (lihat M. Umer Chapra, 2000) adalah jatuhnya bursa saham AS pada bulan Oktober 1987, ledakan pada bursa saham dan property Jepang pada pertengahan dekade 1990-an, jatuhnya mekanisme nilai tukar Eropa pada tahun 1992-93, jatuhnya pasar obligasi pada tahun 1994 dan krisis Meksiko tahun 1995. Ditambah lagi krisis yang menimpa negara-negara Asia Timur pada tahun 1997, jatuhnya Long Term Capital Management di AS pada tahun 1998, serta krisis nilai tukar mata uang Brazil pada tahun 1999. Hampir dapat dikatakan tak ada satu wilayah atau negara yang dapat menghindarkan diri dari dampak krisis itu.
Hikmah diharamkannya Riba
Hikmah dari diharamkannya riba adalah bahwa harta tidak boleh melahirkan harta dan melipatgandakannya, tetapi harus diperoleh dari sumber yang halal, dan dibelanjakan pada haknya. Islam tidak pernah mengecam harta sebagaimana sikap Injil mengecam harta:”Orang kaya tidak akan dapat menembus pintu-pintu langit sampai seekor unta dapat menembus lubang jarum”. Bahkan Islam menegaskan: “Harta terbaik dari yang baik adalah harta yang dimiliki oleh seorang yang sholeh” (HR. Imam Ahmad dan Al Hakim dengan sanad yang baik (jayyid).
Harta yang baik adalah harta yang diperoleh dari sumber yang halal dan dikembangkan secara halal, artinya dengan usaha “legal” yang bermanfaat, baik secara mandiri maupun kerjasama dengan pihak lain (venture).
Berdasarkan ini, Islam mensyariatkan kerjasama antara modal dengan usaha/kerja untuk kepentingan kedua belah pihak, dan sekaligus untuk masyarakat. Sebagai konsekuensi dari kerjasama ini, maka kedua belah pihak seharusnya sama-sama memikul resiko, baik untung ataupun rugi. Jika untung yang diperoleh besar maka penyedia dana (financier) dan pekerja menikmati bersama sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Jika untung kecil maka kecil pulalah bagian keduanya. Seandainya kerugian yang diperoleh, maka haruslah dirasakan bersama yaitu pemilik modal rugi dalam sahamnya dan pekerja rugi dalam energi dan jerih payahnya. Inilah keadilan yang sempurna. Keuntungan sama dinikmati dan kerugian sama dipikul.
Dengan demikian, hikmah yang kelihatan dibalik pengharaman riba adalah mewujudkan persamaan yang adil diantara harta (modal) dengan usaha, serta memikul resiko dan akibatnya secara berani dan penuh tanggung jawab. Inilah pengertian “keadilan Islam”.
Islam tidak memihak kepada usaha dalam memandang modal dan sebaliknya Islam tidak berat kepada modal sehingga menyepelekan usaha. Keduanya berada dalam posisi yang seimbang. Ini juga mencerminkan keadilan Allah yang tidak memihak kepada salah satu pihak.
Perkembangan di Tataran Internasional
Berdasarkan perjalanan sejarah sejak keruntuhan sistem Islam yang mendunia (Khilafah Turki Ustmaniyah di awal tahun 1920-an) sampai memasuki milenium kedua saat ini, setidaknya perkembangan ekonomi Islam dapat dilihat dalam 4 fase sebagai berikut:
Fase Pertama
Fase Justifikasi. Di awal abad ke-20 hingga pertengahan pertamanya, saat itu peradaban Barat berada pada puncaknya kemegahannya, sehingga banyak memikat perhatian. Sementara warisan Islam yang kaya tertimbun oleh debu tebal. Di saat itu, umat Islam dalam keadaan tertekan dan kreasi intelektualitasnya terbelenggu sistem kapitalis, yang berdiri atas dasar riba-mendominasi dunia. Karena itu tidak mengherankan kalau pada fase ini, ditemukan pemikir Islam yang berusaha mencari-cari titik temu antara Islam dengan segala sesuatu produk Barat. Mereka mentakwil-takwil nash yang sudah terang dan jelas (muhkamat) dan kalau perlu merubahnya menjadi nash mutasyabihat (belum jelas dan pasti), dalam rangka men”justifikasi” realita yang ada, yang bukan produk kaum Muslimin dan tidak pula sesuai dengan keinginan hati nurani dan logika mereka.
Fase Kedua
Fase pembelaan (Defensive). Fase ini dimulai ketika sebagian ulama yang memiliki semangat Islam yang tinggi dan memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu haram dan kaum Muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu-membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah dan bukan pada bunga. Yang menonjol dalam pendekatan ini adalah keyakinan yang begitu teguh haramnya bunga bank dan pengajuan alternatif. Masa ini dimulai kira-kira pada pertengahan dekade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan bank Islam lokal yang beroperasi bukan pada bunga. Sementara itu di Mesir juga didirikan lembaga keuangan yang beroperasi bukan pada bunga pada awal dasa warsa 1960-an. Lembaga keuangan ini diberi nama Mit Ghomr Local Saving Bank yang berlokasi di delta sungai Nil, Mesir.
Tahapan ini memang masih bersifat prematur dan coba-coba sehingga dampaknya masih sangat terbatas. Meskipun demikian tahapan ini telah membuka pintu lebar bagi perkembangan selanjutnya.
Pada fase ini ekonomi tanpa riba sudah mulai menjadi alternatif bagi kaum muslimin di dunia, yang dimulai pada akhir dasawarsa 1960-an. Pada tahapan ini para ekonom Muslim, termasuk yang dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serika dan Eropa bersinergi dengan para ulama syariah dan praktisi ekonomi muslim lainnya mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik Muslim maupun non-Muslim. Konferensi internasional pertama tentang ekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional yang baru di London pada tahun 1977. Setelah itu digelar dua seminar tentang Ekonomi Moneter dan Fiskal dalam Islam di Makkah pada tahun 1978 dan di Islamabad pada tahun 1981. Kemudian diikuti lagi oleh konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi Kerja Sama Ekonomi yang diadakan di Baden-Baden, Jerman pada tahun 1982 yang kemudian diikuti Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad pada tahun 1983.
Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan seminar ini digelar, yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Prof. Khurshid Ahmad (lihat Basri,2000), kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar tadi adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang hukum bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini, tetapi juga memberikan pedoman bagaimana menghapuskan riba dari perekonomian.
Fase Ketiga
Fase Pengganti (Alternatif). Fase kedua di atas secara paralel diikuti oleh fase ketiga yang ditandai dengan upaya-upaya konkret untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan nonriba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkret antara usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan Muslim yang memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis nonriba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama kali didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasa sama antara negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tidak lama kemudian disusul oleh Dubai Islamic Bank. Setelah itu banyak sekali bank-bank Islam bermunculan di mayoritas negara-negara Islam, termasuk di Indonesia.
Fase Keempat
Kini ekonomi Islam memasuki tahapan keempat yang ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.
Perkembangan di Tataran Domestik
Di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur tentang deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen). Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan bagi hasil diakomodasikan, maka Bank Muamalat Indonesia merupakan Bank Umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh pendirian Bank-Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang mencukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori pendirian asuransi Islam pertama di Indonesia, yaitu Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada tahun 1997, Bank Muamalat mensponsori Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang kemudian diikuti oleh beroperasinya lembaga reksadana syariah oleh PT. Danareksa. Di tahun yang sama pula, berdiri sebuah lembaga pembiayaan (multifinance) syariah, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company.
Selama lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, praktis tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung sistim beroperasinya Perbankan Syariah. Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa Perbankan Syariah menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku (yang notabene berbasis bunga/konvensional), di Indonesia. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya menjadi tersamar dan Bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistim perbankan nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Perangkat hukum itu diharapkan telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Kini jumlah Bank Umum Syariah di Indonesia telah bertambah dengan telah beroperasinya antara lain Bank IFI Cabang Syariah dan Bank Syariah Mandiri, disamping Bank Muamalat Indonesia dan puluhan BPR Syariah yang telah ada.
Hal ini juga menunjukkan bahwa fatwa MUI tentang haramnya bunga bank sebagai riba mendapat penguatan dari sisi fiqh waqi’ (fiqih realitas), bahwa kondisi realitas perekonomian sudah menyediakan alternatif yang memadai bagi kaum muslimin untuk mengaktualisasikan nilai-nilai islam yang kaffah dalam perekonomian; disamping kondisi waqi’ lainnya bahwa sistem perbankan berbasis riba telah menjadi faktor kunci pengakselarasi kolapsnya perekonomian nasional dalam 5-6 tahun terakhir.

Tidak ada komentar: