Sabtu, Oktober 10, 2009

Ibadah dan Akhlak dalam Shalat

Secara bahasa dalam Ensiklopedia Hukum Islam Shalat berarti doa yang baik dan secara Istilah Shalat adalah suatu ibdah yang mengandung ucapan (bacaan) dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbiratulihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.


Shalat dalam pengertian doa antara lain dijumpai dalam Al-Qur’an

103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Namun definisi shalat yang mencakup segala unsure baik unsure lahiriyah, hakikat dan jiwa yaitu “menghadapkan hati dan jiwa kepada Allah dengan cara yang mendatangkan takut dan cinta dengan menumbuhkan keberasan dan kekuasaan-Nya, yang dilakukan dengan penuh khusyu’ dan ikhlas dalam beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.


 Hukum dan Macam Shalat

Shalat sebagai salah satu rukun Islam dan dasar yang kokoh untuk tegaknya agama Islam mempunyai dasar hokum yang kuat dalam nas baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Dasar hukum Shalat dalam Al-Qur’an cukup banyak yaitu diantaranya:

43. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'

Ayat ini menyatakan jelas bahwa hukum shalat adalah wajib. Hal ini ditegaskah oleh ahli ilmu fikih yang menyatakan bahwa asal dalam perintah adalah wajib lalu konsekuansinya adalah bila dikerjakan maka mendapat pahala dan bila ditinggalkan maka mendapat dosa.


Adapun macam-macam shalat terbagi menjadi dua yaitu shalat wajib (shalat lima waktu, jum’at dan jenazah). Dan shalat sunnah. Hampir semua bagian shalat wajib dan shalat sunnah telah ditetapkan waktu-waktunya sebagai mana Allah berfirman:
103. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.


 Hikmah Shalat

Shalat merupakan ibadah utama dalam Islam, setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Shalat disyaritkan dalam rangka bersyukur atas seluruh nikmat Allah yang diturunkan kepada manusia, dan merupakan pembeda antara muslim dan kafir. Shalat mengandung beberapa hikmah bagi kehidupan keadamaan dan kependidikan, baik untuk pribadi maupun masyarakat.

Dar segi keagamaan, shalat merupakan tali yang menghubungkan dan mengikat seorang hamba dengan Penciptanya. Melalui shalat seorang hamba dapat mengagungkan kebesaran Allah swt, mendekatkan diri, berserah diri kepada-Nya, dan menimbulkan rasa tenteram bagi diri orang yang shalat dalam menempuh berbagai permasalahan hidup.

Melalui shalat seorang hamba mendapat ampunan dosa dan meraih kemenangan hal ini sesuai dalam firman Allah swt dalam surat Al-Mu’minun ayat 1-2 yaitu:

1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,

Hikmah shalat bagi diri sendiri yaitu dapat memperdalam sikap disiplin diri dan membuat seseorang bersikap jujur dan berpendirian, menampilkan pribadi yang memiliki akhlak yang mulia, dan memberikan kekuatan (lahir dan batin) dan ketengan jiwa dalam menghadapi berbagai godaa dunia. dengan demikian shalat juga dapat menjadi tebok penangkal bagi seseorang untuk mengendalikan emosi dan perbuatan-perbuatan tercela.

45. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam hal mansyarakat esensi ibadah antara lain yaitu shalat juga merupakan ikatan rasa persaudaraan dan persatuan masyarakat, karena orang-orang yang sama-sama mengerjakan shalat merasakan ikatan batin yang menyatukan rasa dan kepribadian mereka. Dengan demikian, shalat merupakan alat perekat hubungan social di tengah-tengah masyarakat dan dapat digerakan untuk membangun dan mengembangkan rasa persaudaraan bersama.

Khitbah, Akad Nikah dan Walimatul Ursy

KHITBAH


A. PEMINANGAN DALAM ISLAM

Dalam keluarga, istri merupakan tempat penenang bagi suaminya, sekutu hidupnya, pengatur rumah tangganya, ibu dari anak-anaknya, tempat tambatan hatinya, dan lain-lain.

Begitu besar peran seorang istri dalam keluarga, sehingga Islam selalu memperhatikan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita, baik sebelum maupun sesudah terjadinya akad nikah.

Untuk mengenal karakter dan pribadi seorang wanita, sebelum menjadi istri, maka Islam memberikan jalan dengan cara meminang.

1. Pengertian Meminang

Meminang maksudnya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Tidak dalam pinangan orang lain.

b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan.

c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.

d. Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak bain, hendaklah meminang dengan cara sirri.

2. Melihat Pinangan

Demi kebaikan dalam kehidupan berumah tangga, kesejahteraan dan kesenangannya, seyogyanya laki-laki melihat dulu perempuan yang akan dipinangnya sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu perlu diteruskan atau diurungkan.

Dalam agama Islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu. Bagian badan yang boleh dilihat, menurut jumhur ulama adalah bagian muka dan telapak tangan. Dengan melihat muka, maka dapat ditentukan cantik atau tidaknya perempuan yang dipinang, dan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui subur atau tidaknya badan perempuan itu.

Sebagian fuqaha, seperti Abu Daud mengatakan bahwa seluruh badan perempuan itu boleh dilihat kecuali kemaluannya. Sementara itu, ada juga fuqaha yang sama sekali melarangnya.

Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya suruhan untuk melihat perempuan secara mutlak, juga terdapat larangan secara mutlak pula. Ada juga suruhan yang bersifat terbatas, yaitu hanya muka dan kedua telapak tangan, berdasarkan pendapat kebanyakan ulama berkenan dengan firman Allah SWT yang berbunyi :
dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.

3. Meminang Pinangan Orang Lain

Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, karena itu berarti menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketentraman.
Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi kalau pinangan semula ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sesudah meminangnya atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu diperbolehkan.

Jika pinangan laki-laki pertama sudah diterima, namun wanita tersebut menerima pinangan laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka hukumnya berdosa tetapi pernikahannya sah, karena yang dilarang adalah meminangnya, sedangkan meminang itu bukan merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Karena itu, pernikahannya tidak boleh difasakh walaupun meminangnya itu merupakan tindakan pelanggaran. Imam Abu Dawud berkata, “Pernikahannya dengan peminang kedua harus dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.”

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam proses melamar terkandung suatu hikmah, yaitu memberi kesempatan kepada kedua belah pihak mempelajari dengan seksama akhlak kepribadian, kebiasaan, dan kemungkinan yang akan terjadi.

AKAD NIKAH

1. Pengertian Akad

Ada dua rukun dalam akad nikah, yaitu ijab dan qabul. Ijab adalah ungkapan pertama yang dinyatakan oleh pelaku akad nikah sebagai tanda penawaran untuk membuat ikatan hidup berkeluarga. Adapun qabul adalah ungkapan dari pihak kedua yang melakukan akad nikah, sebagai pernyataan bahwa dia rela dan sepakat atas penawaran pihak pelaku akad yang pertama.

2. Syarat-syarat Ijab Kabul

Untuk terjadinya suatu akad yang mempunyai akibat hokum pada suami istri, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Kedua belah pihak sudah tamyiz

Apabila salah satu pihak masih kecil atau ada yang gila, maka pernikahannya tidak sah.

b. Ijab-kabul dilaksanakan dalam satu majelis

Ijab-kabul harus dilaksanakan dalam satu majelis artinya ketika mengucapkan ijab-kabul tersebut tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut kebiasaan setempat ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab-kabul. Akan tetapi, dalam ijab-kabul tidak ada syarat harus langsung. Bila majelisnya berjalan lama dan antara keduanya ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab-kabul, maka tetap dianggap satu majelis. Hal ini sama dengan pendapat golongan Hanafi dan Hambali.

c. Ucapan Kabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab

Artinya maksud dan tujuannya adalah sama, kecuali kalau kabulnya sendiri lebih baik daripada ijabnya dan menunjukkan pernyataan persetujuan yang lebih tegas.

d. Pihak-pihak yang mengadakan akad harus dapat mendengarkan pernyataan masing-masing

Pernyataan kedua belah pihak tersebut harus dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat dipahami. Karena yang menjadi pertimbangan di sini adalah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan Kabul.

WALIMATUL URSY

1. Pengertian Walimah

walimah artinya al-jm’u yaitu kumpul karena antara suami dan istri berkumpul.

Walimah berasal dari kata bahasa arab al walima artinya makanan pengantin.

Jadi menurut istilah walimah adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa jiga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan dalam pernikahan atau yang lainnya.

Walimah diadakan ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya, atau ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya. Bias juga diadakan tergantung adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

2. Kedudukan hukum

Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah mu’akad. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah:

Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah SAW mengadakan walimah dengan seekor kambing untuk istri-istrinya dan untuk Zainab.”

Berdasarkan hadits tersebut di atas menunjukan bahwa walimah itu boleh diadakan dengan makanan apa saja sesuai kemampuan. Hal tersebut titunjukan oleh Nabi SAW, bahawa perbedaan-perbedaan dalam mengdaakan dalam walimah oleh beliau bukan membedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit atau lapang.

3. Hukum menghadiri undangan walimah

untuk menunjukan perhatian, memeriahkan, dan mengembirakan orang yang mengundang, maka orang yang diundang wajib mendatangi.

Adapun wajib mendatangi walimah, apabila:

a. Tidak ada uzur syar’i

b. Dalam walimah itu tidak ada atau tidak digunakan untuk perbuata mukar

c. Yang diundang baik dari kalangan orang kaya maupun miskin.

Ada pendapat bahwa hukum menghadiri undangan adalah wajib kifayah. Dan ada juga yang berpendapat hukumnya sunnah, akan tetapi pendapat pertamalah yang kuat.

Kesimpulan

Meminang maksudnya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Dalam agama Islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu. Bagian badan yang boleh dilihat, menurut jumhur ulama adalah bagian muka dan telapak tangan. Dengan melihat muka, maka dapat ditentukan cantik atau tidaknya perempuan yang dipinang, dan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui subur atau tidaknya badan perempuan itu.

Akad adalah simpilan, perikatan, perjanjian dan permufakatan

Ada dua rukun dalam akad nikah, yaitu ijab dan qabul. Ijab adalah ungkapan pertama yang dinyatakan oleh pelaku akad nikah sebagai tanda penawaran untuk membuat ikatan hidup berkeluarga. Adapun qabul adalah ungkapan dari pihak kedua yang melakukan akad nikah, sebagai pernyataan bahwa dia rela dan sepakat atas penawaran pihak pelaku akad yang pertama.

walimah artinya al-jm’u yaitu kumpul karena antara suami dan istri berkumpul.

Walimah berasal dari kata bahasa arab al walima artinya makanan pengantin.

Jadi menurut istilah walimah adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa jiga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan dalam pernikahan atau yang lainnya

Ada pendapat bahwa hukum menghadiri undangan adalah wajib kifayah. Dan ada juga yang berpendapat hukumnya sunnah, akan tetapi pendapat pertamalah yang kuat.

Jumat, Oktober 09, 2009

Metode Qiyas sebagai Mashadirul Tasyr'i

B. Pengertian Qiyâs


1. Secara Bahasa

Secara bahasa, qiyâs merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, “Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya”, artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti “menyamakan”, dikatakan “Fulan meng-qiaskan extasi dengan minuman keras”, artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras.

Dalam perkembanganya, kata qiyâs banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengqiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya “Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan”, artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.

2. Secara Istilah

Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.

Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyâs adalah :

“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”.

Maksudnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan ‘illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.

Imama Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyâs dengan :

“Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”.

DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyâs dengan :

“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.

Biarpun terjadi perbedaan definisi terminologi antara ulama klasik dan kontemporer tentang qiyâs, namun mereka sepakat bahwa qiyâs adalah “al-Kasyf wa al-Idzhâr li al-Hukm” atau menyingkapkan dan menampakkan hukum, bukan menetapkan hukum ataupun menciptakan hukum. Karena pada dasarnya al-maqîs atau sesuatu yang dikiaskan, sudah mempunyai hukum yang tetap atau tsâbit, hanya saja terlambat penyingkapanya sampai mujtahid menemukannya dengan perantara adanya persamaan “illah.

C. Rukun Qiyâs

Berdasarkan pengertian secara istilah, rukun qiyâs dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

a. Al-ashlu

Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.

Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.

Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan. Dengan demikian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.

b. Hukmu al-ashli

Atau hukum asli; adalah hukum syar’i yang ada dalam nash atau ijma’, yang terdapat dalam al-ashlu.

c. Al-far’u

Adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya.

d. Al-‘illah

Adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far’u, seperti “al-iskâr”.

D. Contoh Qiyâs

Qiyâs keharaman extasy/pil koplo/narkotika.

Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur’an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur’an surat al-Mâidah ayat 90, Allah Swt berfirman:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)

Pada ayat diatas, Allah menerangkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyâs dapat digunakan untuk menetapkan hukum mengkonsumsi extasy atau narkotika;

~ Al-Ashlu: minuman keras atau khamer

~ hukum asli: haram

~ Al-far’u: extasy

~ Al-‘illah: memabukkan,

Dari rincian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam ‘illah, yaitu sama-sama memabukkan sehingga dapat merusak akal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.

E. Syarat Qiyâs

Dari empat rukun qiyâs yang sudah diterangkan di atas, dari masing-masing rukun terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat khusus sah-nya qiyâs, di antaranya adalah:

1. Syarat al-Ashlu

Ulama ulhul fiqih sepakat bahwa syarat dari al-ashlu adalah suatu hal yang pokok, dan bukan merupakan cabang dari yang lain, atau bukan cabang dari pokok (hukum) yang lain.

Menurut jumhur fuqaha, bahawa qiyâs haruslah dibangun diatas dalil nash ataupun ijma’, hanya saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka tentang bolehnya qiyâs yang didasarkan atas ijma’. Sebagian ulama yang tidak setuju mengatakan bahwa qiyâs didasarkan dari ‘illah yang menjadi dasar disyariatkannya hukum asli, dan hal ini tidak memungkinkan dalam ijma’, karena ijma’ tidak diharuskan disebutkan adanya wakil (al-far’u). Maka apabila tidak disebutkan al-far’u-nya, tidak mungkin untuk bisa diketahui ‘illah qiyâs-nya.

2. Syarat Hukmu al-Ashli

Terdapat beberapa syarat dalam hukmu al-ashli atau hukum asli, diantaranya:

a. Harus merupakan hukum syar’i, karena tuntutan dari qiyâs adalah untuk menjelaskan hukum syar’i pada al-maqîs atau objek qiyâs.

b. Harus merupakan hukum syara’ yang tetap (tidak dihapus). Karena dalam penetapan hukum dari al-ashlu ke al-far’u, didasarkan dari ‘illat dalam nash syar’i. Maka apabila hukum asli dihapus, mengharuskan terhapusnya juga ‘illat yang akan digunakan dalam al-far’u.

c. Merupakan sesuatu yang logis yang bisa ditangkap oleh akal; ‘illat hukumnya bisa diketahui oleh akal. Karena asas qiyâs di antaranya adalah: ‘illat hukumnya bisa diketahui, dapat diterapkan pada al-far’u.

d. Para ulama mengatakan tidak dibolehkanya qiâyas dalam masalah ta’abuddiyah (prerogative Allah), yang ‘illah-nya manusia tidak ada kepentingan untuk mengetahuinya, seperti jumlah raka’at dalam shalat, thawaf mengelilingi ka’bah dll.

3. Syarat al-Far’u

a. ‘Illat yang terdapat pada al-ashlu memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada far’u, karena seandainya terjadi perbedaan ‘illat, maka tidak bisa dilakukan penyamaan (qiyâs) dalam keduanya. Adapun qiyâs yang tidak terdapat syarat ini, dikatakan oleh para ulama sebagai qiyâs ma’a al-fâriq.

b. Tetapnya hukum asal; hukum asal tidak berubah setelah dilakuakan qiyâs.

c. Tidak terdapat nash atau ijma’ pada al-far’u, yaitu berupa hukum yang menyelisihi qiyâs. Seandaiya terjadi hal ini, maka qiyâs itu dihukumi dengan qiyâs fâsid al-‘itibâr.

Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak sah adanya persyaratan ‘iman’ dalam memerdekakan budak sebagai kafarat sumpah di-qiyâs-kan pada kafarat pembunuhan; karena pensyaratan itu menyelisihi keumuman nash dalam firman Allah Swt.:

Artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak”. (Q.S. Al-Mâidah:89).

Lafadz “raqabah/budak” dalam ayat ini berbentuk mutlaq, tidak ada pensyaratan harus mu’min, berbeda dengan kafarat pembunuhan seperti firman Allah Swt.:

Artinya: “dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat”. (Q.S. An-Nisâ:92).

Maka qiyâs dalam kafarat sumpah atas kafarat pembunuhan adalah fâsid.

4. Syarat ‘illat

a. Sifat ‘illat hendaknya nyata; terjangkau oleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena ‘illat merupakan isyarat adanya hukum yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada far’u. Apabila ‘illat tidak bisa ditangkap pancaindera, maka tidak mungkin untuk bisa menunjukkan kepada suatu hukum, jadi ‘illat haruslah nyata, seperti ‘illat memabukkan dalam khamer.

b. Sifat ‘illat hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada pada far’u, karena asas qiyas adalah adanya persamaan ‘illat antara ashlu dan far’u’.

c. ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan hikmah hukum, dalam arti bahwa kuat dugaan ‘illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum; memelihara kehidupan manusia.

d. ‘Illat tidak hanya terdapat pada ashlu saja, tetapi harus berupa sifat yang dapat diterapkan juga pada masalah-masalah lain selain dari ashlu.

e. Untuk hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Saw, tidak boleh dijadikan dasar qiyas. Misalnya menikahi wanita lebih dari empat orang, karena ini berupa ketentuan khusus yang hanya berlaku bagi Nabi Saw.

F. Masâliku al-‘Illat

Adalah cara atau metode yang digunakan untuk mengetahui ‘illat, diantaranya:

1. Nash

Dalam hal ini, kadang-kadang nash menunjukkan suatu sifat tertentu yang merupakan ‘illat dari suatu hukum. ‘Illat yang demikian dinamakan oleh ulama dengan “al-mansush ‘alaih”.

Hanya saja tidak semua ‘illat ditunjukkan oleh nash secara sarahah atau jelas, terkadang hanya imâ atau berupa isyarat.

a. Dalalah Sharahah

Adalah lafadh nash yang menunjukkan ‘illat hukum dengan jelas. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah qath’i dan kedua ialah dalalah sharahah dhanni.

i. Dalalah Sarahah Qath’i.

Adalah penunjuk kepada suatu ‘illat hukum yang terdapat pada lafadz secara pasti atau yakin tanpa ada unsur keragu-raguan. Bentuk lafadz pada nash ini dengan disambung dengan lâm ta’lil, seperti kata supaya tidak, sebab demikian, supaya dan lain sebagainya. Contoh, firman Allah Swt:

Artinya: “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nisâ: 165).

Nash di atas secara jelas menunjukkan bahwa ‘illat diutusnya Rasul adalah “Supaya tidak ada dasar bagi manusia membantah Allah”.

ii. Dalalah Sarahah Dzhaniyah.

Adalah penunjuk kepada suatu ‘illat hukum yang terdapat pada lafadz, tetapi ada kemungkinan bisa dibawa ke ‘illat hukum yang lain.[23] Contoh, firman Allah Swt:

Artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah”. (Q.S. An-Nisâ:160).

Huruf “al-bâ” pada kata “fabidzhulamin” artinya ‘disebabkan’ dan dapat juga berarti ‘dengan’. Kedua arti di atas bisa digunakan, tetapi besar kemungkinan apabila diartikan ’dengan’, akan memperjelas arti ayat tersebut.

iii. Dalalah al-Imâ wa al-Isyârah

Adalah penunjuk kepada suatu ‘illat dengan nash yang tidak jelas, tetapi memberi isyarat kepada suatu ‘illat. dengan adanya qarinah padanya. Atau dengan ungkapan lain adalah petunjuk yang difahami dari sifat yang menyertainya.

Contoh, hadis dari Nabi Saw:

“Seseorang hakim tidak boleh memberi keputusan dalam keadaan ia sedang marah.” (Muttafaq ‘alaih, Bukhari Muslim).

Hadis di atas menyebutkan sifat dan hukum secara bersamaan. Penggabungan antara sifat dan hukum ini dirasakan sebagai ‘illat bagi hukum, yaitu larangan mengadili, karena disini disebutkan sifat bersamaan dengan hukum, yaitu marah.

2. Ijma’

Metode mengetahui ‘illat melalui ijma’ maksudnya adalah ‘illat tersebut ditetapkan dengan ijma’. Seperti ijma’ ulama bahwa ‘sighar’ adalah ‘illat dikuasainya harta seorang anak kecil. Maka kasus ini menjadi qiyâs pada masalah penguasaan dalam pernikahan.

As-Sabru wa at-Taqsim

As-sabru wa at-taqsim adalah metode yang ketiga untuk mengetahui dan menetapkan suatu ‘illat, tetapi metode ini bukan dalil naqli dari nash ataupun ijma’, tetapi hanya istimbath.

Secara bahasa, arti dari as-sabru adalah meneliti atau mencari, sedangkan at-taqsim adalah seorang mujtahid memisah-misah atau memilah-milah sifat-sifat yang dilihatnya pantas untuk menjadi ‘illat hukum.

Contohnya:

“Para ulama sepakat bahwa para wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yangmenerangkan ‘illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan ‘illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, ialah belum baligh, gadis (bikr) dan belum dewasa (rusyd). Pada ayat enam surat an-Nisâ’ tidak dewasa dapat dijadikan ‘illat seorang wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa. Karena itu ditetapkanlah belum dewasa sebagai ‘illat kebolehan wali mujbir untuk menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya.”

G. Pembagian Qiyâs dan Macam-macamnya

1. Qiyâs Aulawi

Adalah qiyâs yang ‘illat pada far’u-nya lebih kuat dari pada ‘illat pada ashlu. Maka sebenarnya hukum pada far’u lebih utama penetapan dan penerapanya dibanding ashlu.. Seperti firman Allah Swt.:

Artinya: “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah”. (Al-Isra’:23).

2. Qiyâs Musawi

Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada far’u sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. ‘Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah Swt.:

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ’: 10)

Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashlu sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada far’u.

3. Qiyâs Adna

Adalah qiyâs yang tingkatan ‘illat hukum pada far’u-nya lebih rendah dari ashlu. Seperti ‘illat memabukkan yang terdapat pada nikotin; lebih rendah dari ‘illat memabukkan pada khamer.

H. Hujjiyatul Qiyâs

Hujjah secara bahasa artinya petunjuk atau bukti, adapun arti qiyâs sebagai hujjah adalah: petunjuk atau bukti untuk mengetahui beberapa hukum syar’i. Sedangkan arti hujjiyatul qiyâs sendiri adalah bahwa qiyâs merupakan dasar dari dasar-dasar syaratan dalam hukum-hukum syar’i praktis.

Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Tetapi mereka sepakat bahwa qiyâs bisa dijadikan sebagai hujjah dalam perkara-perkara duniawi, sebagaimana pula mereka sepakat kehujjahan qiyâs Nabi Saw.

Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.

Jumhur ‘ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu:

1. Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.

2. Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.

Dr. Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih, dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama–ulama Syi’ah, al-Nadzâm, Dzhahiriyyah dan dari sebagian ulama Mu’tazilah Irak. Hanya saja sebagian dari mereka mengatakan bahwa pelarangan ataupun penolakan terhadap hujjah qiyâs berdasarkan dari akal, dan sebagian yang lain mengatakan pelaranganya dari syar’i, namun pada kenyataanya mereka adalah orang-orang yang menolak adanya qiyâs.

Dr. Sya’ban Muhammad Ismail dalam tahqiqnya mengatakan bahwa golongan yang pertama kali mengingkari qiyâs adalah an-Nadzhâm, kemudian diikuti oleh beberapa kelompok dari Mu’tazilah seperti Ja’far bin Harb dan Ja’far bin Habsyah dan datang yang terakhir Dawud al-Dzhairiy.

Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah :

1. Dalil al-Qur’an

Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 49:

“Hai orang – orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.

Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur’an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang.

Pernyataan di atas di bantah dengan:

Bahwa menggunakan qiyâs bukanlah sesuatu yang dilarang, karena Allah Swt. dan Rasul-Nya, karena menggunakan qiyâs sejatinya adalah beramal dengan al-Qur’an dan sunnah, maka bukan mendahului Allah dan Rasul-Nya.

Selanjutnya dalam surat al-Isra’ ayat 36, Allah berfirman :

“Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya “.

Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu, berdasarkan ayat tersebut, qiyas dilarang untuk diamalkan.

Pernyataan ini juga dibantah dengan:

Ayat tersebut bukan merupakan larangan menggunakan qiyâs, karena menggunakan qiyâs bukanlah perkara yang dzhanni (persangkaan), bahkan qiyâs merupakan perkara yang qath’i (pasti) di tangan seorang mujtahid. Artinya diketahui secara yakin bahwa itu merupakan hukum Allah dalam suatu masalah.

2. Hadis

Alasan–alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits hasan yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :

“Sesungguhnya Allah menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.

Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubâh (boleh). Apabila di qiyas-kan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan.

Pernyataan di atas dijawab:

Bahwa menggunakan qiyâs bukan merupakan hukum dari mujtahid, tetapi itu adalah hukum dari Allah Swt., karena ‘illat hukum pada dasarnya berasal dari sisi Allah.

Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyâs sebagai salah satu metode dalam hukum syar’i mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :

1. Surat al-Hasyt ayat 59:

“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai pandangan”.

Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyâs yang disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur’an memerintahkannya.

Ayat lain yang dijadikan alasan qiyâs adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :

2. Surat al-Baqarah ayat 222:

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”.

Alasan jumhur ulama dari hadits Rasululah adalah riwayat dari Mu’adz Ibn Jabâl yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadhi. Rasulullah melakukan dialog dengan Mu’adz seraya berkata :

"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)”

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyâs.

Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :

“Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :“bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?”. (H.R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthâb).

Dalam hadits tersebut Rasulullah meng-qiyaskan mencium istri dengan berkumur–kumur, yang keduanya sama–sama tidak membatalkan puasa.

I. Penutup

Term qiyâs yang begitu panjang dibahas oleh para ulama, pada masa sekarang ini sudah selayaknya untuk ditabrakkan langsung dengan realitas umat. Karena sesempurna apapun sebuah konsep, tetapi tanpa adanya realisasi nyata, maka hanya akan sia-sia dan kumal tersimpan sebagai sebuah literatur.

Akirnya penulis mengucapkan terima kasih dan mohon maaf atas segala kekurangan dalam penulisan makalah ini, saran dan kritik terus penulis tunggu demi sebuah proses pembelajaran.

"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)


DAFTAR PUTAKA


Al-Quran dan terjemahnya, PT. Syamil Cipta Media, Bandung, Indonesia. 2006

Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. cet.4. –Jakarta: Balai Pustaka, 2005

‘Athi, Muhammad ‘Abdul, Dr., al-Maqâsid al-Syar‘iah wa Atsaruha fiy Fiqhi al-Islami, Dârul Hadîs, Kairo, 2007

‘Abd Azhab, Abdul A‘al, Dr.,Usul Fiqh al-Muyassar, al-Azhar Press, Kairo, 2007

Al-Amidy, Saifuddin Abu Hasan Ali, al-Ihkam fiy Usuli al-Ahkam, Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cet. V. 2005

Ar-Razy, Fakhruddin, al-Mahsul fiy usuli al-Fiqh, (?)

As-Syaukani, Al-Hâfidz Muhammad ‘Aly bin Muhammad, Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. ed et, Irsyâdu al-Fuhul ila Tahqiqi min ‘Ilmi al-Ushul, Dâr al-Salâm, Iskandariah, Kairo, juz. II. 2006

Al-Isnawi, Jamaluddin ‘Abdurrahim bin al-Hasan, Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. ed et, Nihâyatu al-Sûli fî Syarhi Minhâji’l Wushûli Ilâ ‘Ilmi’l Ushûl, Dâr Ibnu Hazm, 1999, cet. I, Beirut

Hudhari, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Dâr al-Hadist, Kairo, 2003

Ibn Qudamah, Raudlah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir, Mu’assasah al-Risalah, Beirut, 1978

Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, Dar al-Fikr , Beirut, 1974.

Karîmah, Mahmûd, Dr., Ma’âlimu al-Syari‘ah al-Islamiyah, Umraniyah, Kairo, 2004

Zaidân, ‘Abdul Karim, Prof. Dr., al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996

Zuhaili, Wahbah, Dr., Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005

Zaidân, Shaleh, Dr., Hujjiyatul Qiyâs, Dâr al-Shahwah, Hilwan, Kairo, cet. I. 1987

Tafsir ayat Ekonomi tentang KEWIRAUSAHAAN

KEWIRAUSAHAAN




Menurut etimologi wirausaha berasal dari kata wira (perwira, pemberani, utama) dan kata usaha. Jadi wirausaha adalah orang yang mempunyai kemampuan berusaha sendiri. Sedangkan menurut terminologi wirausaha atau kewirausahaan adalah seseorang yang memilki kemampuan untuk berusaha sendiri melalui potensi atau kemampuan yang dimilikinya dalam mengelola sumber daya yang ada.

1.Kewirausahaan disyariatkan berdasarkan Alquran surat Al–Anam ayat 135

Artinya: “Katakanlah (Muhammad, “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu akupun berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui, siapa yang akan memperoleh tempat (terbaik) diakhirat (nanti) sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu tidak akan beruntung.”


PENJELASAN

Katakanlah (Muhammad, “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu akupun berbuat (demikian).

Dari ayat ini kita mendapat beberapa pelajaran, pertama Allah menyuruhkan RasulNya memakai kata-kata yang mengandung cinta kasih dan menyenangkan kepada kaum musyrikin itu bahwa mereka bukanlah di pandang orang lain oleh Rasul. Sebab itu dimulai dengan ucapan ”Wahai kaumku!”. Dengan kata ini, kasih sayanglah yang nampak, bukan kebencian. Yang kedua, di akui kekuatan mereka pada masa itu karena mereka mempunyai Makaanat, yaitu banyak kemungkinan, sebab mereka berkuasa dan berpengaruh dan banyak harta benda. Bolehlah mereka berkerja terus melanjutkan keyakinan mereka dengan sebab adanya makaanat itu. Sedang aku, kata Rasul akan berkerja pula, dan Rasul tidak menyebut bahwa diapun mempunyai makaanat, sebab dia masih golongan kecil, dalam negri itu dan pengikut-pengikutnya tidak pula orang-orang yang mempunyai kekayaan atau kedudukan penting. Sungguh pun demikian, mari kita sama-sama bekerja

Oleh karena itu marilah kita sama-sama berlomba bekerja,tetapi jika pekerjaanmu yang salah itu kamu teruskan juga,percayalah dari sekarang dan pastikanlah bahwa kamu yang akan kalah dan akan gagal,karena “sesunguhnya tidaklah akan beroleh bahagia orang-orang yang zalim”.Sebagaimana dimaklumi kezaliman adalah dari sebab kegelapan.Gelap karena rencana tidak benar.Gelap karena iman tidak ada di dalam.Gelap dan zalim karena mengerjakan pekerjaan yang tidak diridhai oleh Allah.

Dalam ayat ini,Rasulullah menantang, mari kita sama bekerja, dan mari kita lihat akibatnya kelak dibelakang hari, siapakah diantara kita yang akan menang, dan berhasil kepada yang dimaksud. Dan di ujung ayat Nabi Muhammad saw disuruh menegaskan bahwasanya segala orang yang aniaya, orang zalim, yang perjalannya tidak tentu arah bepapun kuatnya namun akhirnya pasti bahwa dia tidak akan menang. Tak pernah orang yang menempuh jalan yang salah memperoleh kemenangan. Dan ini adalah Sunnatullah, peraturan tetap pada Allah dalam alam ini.

2.Alquran surat Al-Isra ayat 18 dan 19

Artinya:”Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kamimsegerakan baginya di (dunia)ini apa yang Kami kehendaki.Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam;dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.”

PENJELASAN

Ada pemuka-pemuka kafir menentang, mana dia azab itu. Coba didatangkan sekarang juga? Tantangan mereka dikabulkan secepatnya oleh Tuhan. Penentang-penentang itu kemudian sebagian besar mati dalam perang Badar dan jadi alas neraka. Mereka mati dengan nama yang tercela. Dan seakan-akan terusir dari dunia. Sebab akhirnya negera Makkah itu dapat juga di kuasai Nabi saw sedankan kekuasaan mereka telah habis.

Orang-orang yang demikian karena cinta kepada hidup menjadi takut mati. Mereka berhadapan dengan orang-orang beriman, yang dengan jiwa penuh cinta akan Allah ingin hari akhirat. Dan mereka tidak takut mati.

Disinilah kita melihat perbedaan diantara kesombongan orang kafir, tidak mau percaya, dengan orang yang beriman dan dengan tenang meyakini apa yang dijanjikan Tuhan.Si Kafir yang disini diperlihatkan pada sikap pemuka-pemuka Quraisy, menantang Nabi, artinya menantang Allah. Mana dia azab itu, bawa kemari sekarang? Kita mau cepat mehat bukti. Dengan tidak mereka sadari dan tidak memperhitungkan terlebih dahulu, apa yang mereka kehendaki itu berlaku. Segala mereka yang besar-besar mulut dan sombong itu pergi ke peperangan Badar. Ketika turun dari Makkah merka mengira mereka pasti menang, sebab mereka lebih kuat. Bahkan umat Islam sendiripun mulanya tidak menyangka akan menang. Kejadiannya ialah kaum Kafir Quraisyi kalah, pemimpin-pemimpin terkemukayang besar-besar mulut itu tewas sampai 70 orang, dan tertawan 70 orang juga.

Orang yang telah percaya kepada Allah dan Rasul dan membuktikan itu dengan perbuatan dan perjuangan, tidaklah bergegas-gegas minta balasan atau mita kenyataan “sekarang juga”. Sebab yang mereka inginkan bukaklah yang semata-mata nampak sekarang, yang mereka harapkan ialah hari esok,atau yang disbut akhirat. Maka berfirmanlah Tuhan dalam Aluran surat Al Isra ayat 19:

Artinya:”Dan barang siapa yang menghendaki akhirat, dan dia berusaha untuknya dengan sunguh-sungguh usaha dan dia pun beriman, maka adalah usaha mereka itu mendapat ganjaran.”

Pada ayat 18 dan 19 ini dijelaskan perbedaan nilai tujuan dari dua macam golongan itu.Yang pertama mati tidak ada tujuan.Mereka hilang dari dunia dalam nama yang tercela seumpama terusir layaknya. Yang kedua bersedia menghadapi hari akhirat, berusaha denan sungguh-sungguh yang didorong rasa iman. Mereka hidup dalam kepercayaan yang teguh.

3.Alquran surat An-Najm ayat 39 dan 40

39. dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,

40. dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).

4.Alquran surat Al-Mulk

Artinya:”Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah disegala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
PENJELASAN

“Dialah yang menjadikan bumi itu rendah.””Zulalan”kita artikan rendah,yaitu rendah,dibawah aki manusia atau dibawah injakan manusia.Bagaimanapun tingginya gunung, bila manusia mendakinya,namun puncak gunung itu terletek dibawah kaki manusia juga.”Maka berjalanlah kamu disegala penjurunya.”Diumpamakanlah manusia berjalan di atas permukaan bumi sebagai berjala di atas pundak atau bahu atau belikat bumi.Bumi yang besar di injak bahunya oleh kita manusia. Yang tinggi hendaklah kamu daki,lurah yang dalam hendaklah kamu turuni, padang yang luas hendaklah kamu seruak, lautanyang yang dalam hendaklah kamu salami dan layari. Artinya bumi yang telah direndahkan untuk kamu itu kuasailah, bongkarlah rahasianya,keluarkanlah kekeayaannya,gailah buminya, timbalah lautannya, tebanglah kayunya, pukatlah ikannnya. ’Dan makanlah daripada rezekiNya.” Usahakanlah dengan segala daya upaya yang ada padamu. Dengan akal , pikiran dan kecerdasan. Kamu tidak hanya boleh berpangku tangan menunggu rezeki. Rezeki akan di dapat menurut sekedar usaha dan perjuangan.

Sebagaimana manusia kita dikirim Allah ke muka bumi. Dari muka bumi itu disediakan segala kelengkapan hidup kita disini. Tidaklah kita dibiarkan bermalas-malas, menganggur dengan tidak berusaha. Maka bumi adalah rendah dibawah kaki kita.Kita akan mendapay hasil dari muka bumi ini menurut kesanggupan tenaga dan ilmu. Zaman modern disebut zaman teknologi. Kepintaran dan kecerdasan manusia telah membuka banyak rahasia yang tersembunyi. Puncak gunung yang setinggi-tinginyapun sudah dapat dinaiki dengan mudah,misalnya dengan helicopter. Tambang-tambang digali orang mengeluarkan simpanan bumi.Manusia ditakdirkan Tuhan bertabiat suka kepada kemajuan. Cuma satu hal tidak boleh dilupakan, yaitu sesudah hidup kita akan mati. Dan mati itu ialah kembali kepada Tuhan,kembali ke tempat asal,ntu mempertanggungjawabkan apa yang pernah kita perbuat di dunia ini.

MENJADI PEMBICARA YANG ANDAL

Menjadi pembicara yang andal tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Semua pasti membutuhkan proses yang cukup panjang tentu saja dengan kegigihan dan semangat yang tinggi. Adapun bagaimana bisa kita menjadi pembicara yang andal tanpa kita tau hal yang mendasar. Di sini, dalam makalah ini penulis mencoba mengungkap hal-hal yang mendasar. Seperti mengenali audensi, memiliki atau merencanakan tujuan berpidato, merencanakan struktur, menyiapkan naskah pidato dll. Adapun pemaparan materi akan kami bahas sebagai berikut dengan rinci.

1. TEMPAT dan AUDIENSI

Ketika anda mendapat undangan berpidato, mulailah menguasai semua rincian praktis. Pilhlah isu-isu praktis terlebih dahulu seperti: tetapkan waktu dan tempat janji berpidato di dalam buku catatan dan benak anda,tetapkan format acaranya, kapan tepatnya anda akan berpidato, siapa saja yang akan berbicara mendahului atau setelah anda, berapa banyak waktu yang anda miliki, kapan anda dengan sopan meninggalkan acara, apakah anda diharapkan melakukan hal lain (menjawab pertanyaan, menyatakan sesuatu secara terbuka, atau memberikan sebuah penghargaan), seperti apakah tempat acaranya, berapa banyak yang dapat ditampung dan peralatan teknis apa saja yang bisa digunakan.

Jika semua isu-isu itu telah anda ketahui. Maka hal yang perlu anda ketahui selanjutnya adalah AUDIENSI. Tugas anda akan jauh lebih mudah bila audiensi berdasarkan undangan saja, tidak terbuka untuk semua umum. Bila audiensinya anak-anak, anda sebaiknya memilih sebuah persoalan yang dapat diterima oleh mereka, dan menceritakannya dalam gaya yang sederhana dan dengan bahasa yang sederhana. Namun bila audiensinya adalah orang-prang yang lebih tua, janganlah menggurui. Audiensi yang lebih tua cenderung lebih cerdas dibandingkan dengan audiensi yang lebih muda dan mereka hamper selalu memiliki lebih banyak pengetahuan. Dekatilah pengalaman dan kebijaksanaan mereka. Bagi audiensi kelompok keyakinan dan etnis minoritas, jangan berpura-pura menjadi salah satu dari mereka, bila anda memang bukan bagian dari mereka, tapi berhati-hatilah untuk tidak menggunakan bahasa atau argumen yang meniadakan mereka atau rujukan yang ofensip atau menggurui. Dengan audiensi perempuan, jangan menggunakan bahasa lelaki atau menceritkan lelucon yang merendahkan atau menyerang kaum permpuan.

2. TUJUAN dalam MENYAMPAIKAN PIDATO

Anda kini telah melakuan banyak pekerjaan mendasar: memutuskan apakah akan berpidato, mencari tahu bagaimana bisa sampai di sana, dan apa yang harus anda lakukan, serta menyelidiki audiensi secara rinci. Sisa dari pidato anda akan semakin mudah.

Pidato yang baik adalah pidato yang memiliki tujuan yang baik untuk auduensi peroleh, karena berpidato bukanlah hanya sekedar menyampaikan kata-kata yang tersruktur tetapi harus mempunya tujuan. Agar tujuan penyampaian pidato tidak terlalu membingungkan anda, maka tulislah tiga tujuan pidato anda yang ketiga tujuan itu telah mencakup tujuan-tujuan yang lain. Ketika tujuan itu telah didapatkan maka mulailah menentukan judul yang akurat.

3. STRUKTURISASI PENULISAN PIDATO

Anda tidak akan mulai membangun rumah tanpa sebuah rencana, demikian pula anda tidak akan membangun pidato tanpa sebuah disain arsitek. Invertasikan waktu dan upaya ke dalam rancangan itu. Maka hal tersebut akan memberikan imbalan yang bagus. Pidato anda akan lebih cepat dan tidak akan runtuh.

Tidak seperti rumah, semua pidato memiliki arsitektur yang sama. Ada pendahuluan, bagian awal, bagian tengah dan bagian akhir. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Pendahuluan

Pedahuluan adalah bagian awal dalam berpidato. Pendahuluan yang terpisah memiliki banyak tujuan. Yang pertama, adalah tatakrama yang santun. Anda menggunakan pendahuluan untuk mengucapkan trimakasih. Tujuan yang kedua, pendahuluan adalah untuk menenangkan audiensi dan tujuan yang ketiga, dan yang terpenting adalah untuk berhubungan dengan audiensi.





b. Bagian Awal

Setelah menunjukan kesantunan anda dan dengan sukses menghubungkan diri anda ke acara dan audiensi, anda telah mendapatan hak untuk mengklaim perhatian penuh mereka.

c. Bagian Tengah

Bagian tengah tentu saja adalah batang tubuh pidato, menambahkan detail yang diperlukan untuk mendukung dan memberikan hiasan pada tema utamanya. Pada bagin inilah anda menempatkan sebagian besar fakta untuk memberikan informasi, argumen yang meyakinan, serta kalimat-kalimat untuk membuat orang tertawa dan menangis.

d. Bagian Akhir

Bagian akhir pidato anda mudah direncanakan, tetapi kurang mudah dilaksanakan, tulislah bagian rancangan ini dari belakang. Sangat mudah untuk lupa bahwa pidato mungkin memliki tujuan khusus. Maka bagian akhir adalah hal terakhir diingat audiensi mengenai anda.

4. Menyiapkan Naskah Pidato Lengkap

Setelah anda menyiapkan rancangan yang mengagumkan. Anda harus menulis pidato anda secara lengkap.

Menulis naskah pidato secara lengkap adalah satu-satunya cara agar anda mampu mengatur waktu anda sendiri dengan tepat, baik pidato secara keseluruhan maupun segmen-segmen individuanya. Tanpa menulis pidato anda sangat muda terlena oleh hal-hal pertama yang akan anda sampaikan, membahasnya dengan panjang lebar, lalu menyadari anda memiliki waktu yang tersisa tinggal dua menit lagi untuk membicarakan yang lainnya. Menulis pidato secara lengkap akan membantu anda terhidar dari kata-kata yang tidak bermanfaat. Dan menulis pidato secara lengkap akan menghindarkan anda dari kehilangan kata-kata di tengah jalan, yakni ketika anda memulai dengan satu hal dan tiba-tiba memikirkan hal lainnya. Akan membuat anda disiplin. Itulah pentingnya menulis pidato secara lengkap. Karena pidato adalah bentuk percakapan yang sangat terkonsentrasi.

Ketika semua struktur penulisan pidato telah dikemukakan, maka alangkah baiknya bila diteruskan dengan penulisan naskah pidato. Hampir setiap panduan menulis dan berpidato yang baik akan menyuruh anda untuk menggunakan bahasa sehari-hari. Panduan ini akan menyarankan anda untuk menggunakan kata-kata yang paling sederhana dan lazim yang dapat menyampaikan makna anda. Panduan ini menasehati anda agar menggunakan kata-kata pendek dari pada yang panjang, untuk lebih memilih ungkapan modern daripada yang sudah usang.

Ini tentu saja nasihat yang sangat bagus. Nasihat ini jauh lebih banyak benarnya daripada salahnya. Bahasa yang sederhana dan sehari-hari menyampaikan makna anda dengan lebih efektif.

Dalam menulis naskah pidato tidak selamanya mudah bahkan sering menghadapai kebuntuan. Ada beberapa cara untuk menghadapi kebuntuan dalam menulis. Pertama, Ingatlah kebuntuan itu bersifat sementara. Inspirasi akan dating kembali. Kedua, ketika mengalami kebuntuan dalam menulis maka hentikanlah kebiatan menulis dan lakukanlah kegiatan fisik, ini memudahkan dan membuat anda fresh kembali. Ketika anda telah kembali semangat untuk menulis naskah maka segeralah untuk menulisnya.

Yang perlu diingat dalam penulisan pidato adalah penulisan pidato harus sesuai dengan tata bahasa yang baik dan benar dan buanglah jauh-jauh kata yang mati yaitu kata yang tidak memiliki peran apapun dalam naskah pidato anda. Dan terkadang dalam penulisan pidato anda lebih suka menggunakan kata-kata yang anda senangkan kata-kata itu harus anda bunuh jangan sampai ada dalam teks pidato anda. Dan yang terlebih penting adalah jangan menggunakan kata-kata yang berbahaya dan membunuh audiensi anda.

5. LATIHAN dan Sekali Lagi Saya Katakan LATIHAN

Sekarang pidato anda telah selesai anda tulis, ditulis ulang dan disunting. Anda sekarang harus melatihnya sesering mungkin. Sendirin atau ditemani. Tidak ada kata maaf untuk tidak berlatih, betapa pun sibunya anda, betapa pun akrabnya anda dengan pidato yang ingin anda sampaikan.

Latihan adalah proses penemuan yang tidak akhir. Dengan berlatih, anda dapat menemukan berbagai kesalahan akhir di dalam tulisan dan fakta anda, dan anda akan menemukan lebih banyak kata yang dapat anda potong. Anda akan mengetahui apakah lelucon anda sukses di hati dan pendengar anda, sebagaimana yang anda maksudkan. Anda akan menemukan nada suara anda yang tepat dan menghilangkan perilaku vocal dengan gerak tubuh yang menjengelkan. Anda akan menguasai alat peraga yang anda gunakan. Selain itu, entah anda bisa atau tidak bisa berlatih dalam situasi yang sebenarnya, sebaiknya anda berlatih dengan tata suara yang akan digunakan. Dengan merubah intonasi suara akan membuat pendengar tidak mudah bosan dan ngantuk.

Di atas segalanya, dengan berlatih anda akan mendapatkan control terhadap saraf-saraf anda.

Ada banyak cara untuk mencapai sasaran latihan, baik sendirian maupun di depan orang lain. Apa pun itu, anda harus benar-benar jujur kepada diri sendiri, latihan menunjukan kelemahan, entah di dalam diri anda sendiri atau di dalam pidato anda dan keduanya bisa sama sulitnya untuk diakui.

Setelah waktu yang anda habiskan untuk mempersiapkannya, pidato anda sejak sat ini akan menjadi karya seni bagi anda, dirancang sedemikian indahnya begitu menawan dalam pemaparannya, demikian logis dalam argumennya, begitu kuat dalam emosinya, begitu berkilau dalam permainan kata-katanya, dan sungguh sulit mengakui kenyataannya tidak demikian.

Dalam berlatih dan bila anda berlatih sendiri, lakukanlah di depan cermin dan pasanng perekam. Menyetel radio dengan suara yang lembut agar anda mengikuti suara latar belakang. Saat mulai berpidato jangan melihat ke naskah anda. Lihatlah ke cermin seolah-olah menanti tepuk tangan mereka dan audiensi menjadi tenang. Kini perhatikan apa yang akan audiensi lihat.

Sekarang mulailah berpidato sambil melihat selintas ke diri anda sendiri ke dalam cermin sesering mungkin. Seperti apakah penampilan anda? Perhatikan bahasa tubuh, gerak dan perilaku anda, apa yang dikatan mereka kepada anda? Jujurlah. Rekamlah terus sampai anda selesai berpidato. Tak peduli berapa kali anda tersandung. Perhatikan jam anda. Bila anda kehabisan waktu, buanglah materi yang kemungkinan kurang berguna.

Bila anda berlatih dengan orang lain, anda dapat melakukan pekerjaan ini seratus kali lebih baik. Pertama-tama anda bisa meminta untuk merekamkannya. Orang lain memiliki penilaian yang jauh lebih baik dari pada anda sendiri dalam memutuskan apakah anda enak didengar atau atau tidak. Orang lain memiliki mata dan telinga yang sangat segar dalam menemukan tata bahasa dan gaya bahasa yang salah. Hanya orang lain yang berhak memutuskan podato anda dapat diterima atau tidak.

Jika anda telah selesai berlatih maka bersiaplah untuk berpidato yang sebenarnya.

Yang perlu anda ingat

1) Sikap yang buruk menghasilkan pidato yang buruk.

2) Yang mesti anda hindari adalah: jika anda diminta untuk berpidato dan yang memintanya adalah musuh anda maka katakana tidak, debat yang tidak tersruktur, terlalu banya pembicara lainnya,audiensi terlalu asing.

3) Anda harus berusaha lebih keras dalam berpidto untuk audiensi yang oga-ogahan.

4) Dengan audiensi yang saling bermusuhan anda harus menjadi penengah.

5) Audiensi tidak tahan mendengar pidato dengan nada suara yang sama untuk waktu yang lama. Maka mulailah berkembang dengan intonasi dan tempo yang berbeda.

6) Untuk memperlambat pidato, anda dapat menciptakan jeda.

7) Anda harus mampu berinteraksi dengan audiensi anda.

8) Teks lengkap menjadi sangat penting bila anda berbicara secara formal.

9) Periksalah penampilan anda beberapa menit sebelum anda berpidato.

10) Pastikan menguju mikrofon sebelum anda berpidato.

11) Setiap gerak kecil menceritakan kisahnya sendiri.

12) Belajarlah membuat kesan pembukaan yang baik.

13) Jangan panik bila terjadi hal yang tidak terduga.

14) Aturan emas mengatasi celaan adalah dengan mengabaikannya.

15) Yang terpenting adalah LATIHAN dengan serius.

SEJARAH PERADABAN ARAB SEBELUM NABI UHAMMAD SAW

SEJARAH PERADABAN ARAB SEBELUM


NABI MUHAMMAD SAW

A. GEOGRAFI

1. Menurut Letaknya

Jazirah Arab terletak di asia barat daya yang dikelilingi oleh tiga teluk. Ke sebelah utara Palestina dan padang Syam, ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke sebelah selatan Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah.

Titik pertemuan tiga benua yaitu; Asia, Afrika, dan Eropa yang luasnya 1.300.000 mil persegi. Secara geologis merupakan perluasan dari sahara Afrika yang disekat dengan Niel di Mesir. Daerah Jazirah Arab meliputi; Hijaz, Nejd, Yaman, Hadral Maut, dan Oman.

Jazirah arab merupakan daerah yang tandus. Hampir semua wilayah Jazirah Arab terbentang dengan padang pasir, hanya Hijaz dan Yaman yang merupakan daerah Jazirah Arab yang subur, daerah yang hujannya teratur.

2. Hasil Bumi

Hasil bumi yang dapat dihasilkan antara lain adalah; kurma dari daerah padang pasir karena kurma hanya bisa tumbuh di daerah yang suhu cuacanya panas, sedangkan gandum, sayur-mayur, dan kopi dihasilkan dari daerah berpenghujan.

3. Binatang Ternak

Jazirah arab merupakan daerah yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi oleh padang pasir dan sahara, maka binatang ternak yang dapat dihasilkan adalah unta, kuda, kambing dan domba.

B. SOSIAL

1. Keadaan Masyarakat

Periode sebelum Islam dikenal sebagai Zaman Jahiliyah, karena adanya jetidak teraturan dalam politik, agama, dan masyarakat sebelum datangnya Islam. Kondisi sosial bangsa Arab makin lama makin memburuk. Mereka lebih suka bermabuk-mabukan, perjudian, dan riba.

Wanita dikalangan mereka pada waktu itu tidak mempunyai hak dan kehormatan sosial, mereka menganggap wanita adalah makhluk yang hina yang tidak bernilai. Hingga para orang tua yang kala itu hamil dan kemudian melahirkan anak perempun, mereka langsung menguburnya secara hidup-hidup.

Masih banya lagi fenomena kebobrokan bangsa Arab pada masa itu dalam masalah moral atau akhlak. Hingga pada akhirnya datang seorang Muhammad sebagai Nabi untuk mengemban misi yaitu memperbaiki akhlak bangsa Arab.

2. Kultur

Kebiasaan bangsa Arab pada masa sebelum datangnya nabi Muhammad saw dalam hal memperebutkan kekuasaan baik kekuasaan dalam pemerintahan atau kekuasaan dalam memiliki tempat wilayah yaitu dengan cara berperang. Pereng bukan melawan musuh tetapi berperang antar saudara sendiri hingga penyair arab mengatakan dalam syairnya: “pekerjaan kita adalah menyerang musuh, tetangga kita dan saudara kita sendiri, hanya saudaralah yang kita lawan”.

3. Bidang kesenian

Bangsa Arab adalah bangsa jahiliyah yaitu bangsa yang bodoh. Pengertian jahiliyah di sini adalah jahiliyah atau bodoh dalam hal moral, akan tetapi mereka mahir dalam berseni. Adapun maha karya yang dapat diberikan bangsa Arab pada masa itu dalam bidang seni adalah SASTRA. Banyak masayarakat Arab yang berkeinginan menjadi pujangga karena merupakan kehormatan menjadi seorang pujangga, apalagi syairnya dapat digantung di ka’bah.

Tidak hanya sastra yang terkenal di jazirah Arab melainkan arsitektur yang merupakan adopsi dari kerajaan Romawi dan Persia pada masa itu.

C. EKONOMI

Jauh sebelum Islam, makkah juga sudah banyak dikunjungi jamaah haji, di samping itu juga merupakan pusat perdagangan. Pada zaman Romawi dan Byzantium yang sekarang lebih dikenal dengan Persia, di sini diperdagangkan barang-barang dari India, Afrika Timur, dan dari Timur Jauh sampai ke negara-negara mediterania.

Makkah merupakan pos utama bagi lalu lintas kafilah, sebagain besar penduduk Makkah terlibat dalam perdagangan. Hingga pada sampai sekarang Makkah merupakan tempat singgah bagi orang-orang dari penjuru dunia, yang menjadikan Makkah sebagai kota yang Aman yang penuh dengan berbagai macam buah-buahan.

Selaras dengan Do’a nabi Ibrahim as. dalam Alqur’an yang berbunyi:

Artinya:” Dan ingatlah Ibrahim berkata ya Tuhanku jadikanlah negri ini negri yang aman dan berikanlah rizki kepada penduduknya dari buah-buahan . . . .”.

D. POLITIK

1. Sistem Politik

Badui mempunya tipe kehidupan social dan politik yang menurut garis ayah (patriachela). Setiap keluarga dipimpin oleh seorang syeikh. Sikap patriotism suku badui terbatas pada suku. Oleh karena itu seorang syeikh berani mempertaruhkan nyawa untuk melindungi sukunya dan juka seorang syeikh itu gagal melindungi sukunya maka loyalitas kaumnya akan ditaruhkan.

Telah dikatakan oleh pemakalah dalam pembahasan yang lalu bahwa bangsa Arab khususnya suku badui tidak lepas dari peperangan yang terjadi di antara kaumnya.

Insiden yang sangat remeh pun dapat menyulut api peperangan antar suku. Seluruh jizirah seperti sarang penyengat. Sehingga seseorang tak pernah bisa menduga akan dirampok atau dibunuh.

E. KEAGAMAAN

Bangsa Arab adalah bangsa penyembah berhala, agama mereka tidak bisa memberikan sumbangan, baik material maupun spiritual. Pada mulanya berhala yang mereka sembah diperkenalkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan, tetapi kemudian berubah status, setelah mereka mempertuhankan berhala tersebut. Setiap kota, suku dan tempat mempunya dewa atau dewinya sendiri-sendiri. Berhala-berhala tersebut mereka buat dengan bentuk yang mereka sukai. Ka’bah yang dibangun oleh nabi Ibrahin dan putranya Ismail di kelilingi 360 berhala. Empat yang utama yaitu; Uzza, Latta, Manat, dan Hubal. Yang sangat dipuju-puja dan diharap-harap oleh hampir seluruh bangsa Arab.

Selain Ka’bah, terdapat pula sejumlah kuil di Arabia. Masyarakat umum saling berlomba-lomba untuk mengumpulkan berhala seta untuk membangun kuil. Mereka juga mempercayai malaikat, roh, jin, bintang, matahari, bulan, dan api. Malaikat mereka anggap sebagai putrid tuhan, sedang jin mereka anggap sebagai pemegang kekuasaan bersama Tuhan dalam mengendalikan dunia. Beberapa pohon juga mereka beri status sebagi dewa.

Karena itu manyarakat sebelum Islam, tenggelam dalam keburukan barbarisme dan takhayul. Kondisi moral dan spiritual bangsa Arab sangat menyedihkan begitu juga di bagian dunia yang lain, sehingga memerlukan campur tangan Tuhan. Sehingga Tuhan mengutus nabi-Nya untuk menetralisir semua kebiadaban yang terjadi di daerah Timur dunia.

F. KELAHIRAN SAMPAI DENGAN PERKAWINAN DENGAN KHADIJAH

1. Kelahiran Muhammad

Tidak lama sebelum penyerangan Abrahah, Abdul Muthalib mengawinkan anaknya (Abdullah) kepada Aminah putrid Wahhab dari suku bani Zahra. Selang tiga hari setelah pernikahannya Abdullah berangkat untuk berdagang ke Syiria. Sekembalinya Abdullah jatuh sakit lalu meninggal dunia.

Dua bulan kemudian Aminah janda Abdullah melahirkan tokoh kemanusiaan yang kepribadiannya sangat terpuji, Muhammad dilahirkan pada tahun Gajah menurut perhitungan tahun Qomariyah pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal yang bertepatan dengan bulan April 570 M.

Aminah memberikan nama pada anaknya ialah Ahmad sesuai dengan mimpinya sebelum melahirkan, tetapi Abdul Muthalib menamainya Muhammad.

2. Masa Kanak-Kanak

Sejak lahir Muhammad diasuh oleh Halimah, ia adalah wanita dari keluarga bani Sa’ad suku Hawazin yang dikenal dengan kelancaran dan keindahan berbahasa. Muhammad diasuh oleh Halimah selama enam tahun. Setelah Muhammad menginjak usia enam tahun Halimah mengembalikan Muhammad ke Mekkah. Setelah beberapa bulan tinggal bersama ibunya. Aminah ibunya meninggal dunia kemudian diasuh oleh kakenya yaitu Abdul Muthalib. Tak lama Abdul Muthalib mengasuh Muhammad selama dua tahun, beliau dipanggil untuk menghadap keharibaan Tuhan.

Setelah Abdul Muthalib wafat akhirnya tugas pengasauhan dipegang oleh anaknya yaitu Abu Thalib. Beliau mendidik Muhammad dengan penuh cinta dan amanah, diajaknya ia berdagang ke Syiria. Hingga terkenalah Muhammad sebagai pedagang yang jujur di semenanjung Arabia.

3. Perkawinan Dengan Khadijah

Khadijah adalah janda yang terhormat berusia 40 tahun dan telah menikah dua kali. Dia mempunyai dua orang putra dan seorang putrid. Banyak di antara kepala suku Quraisy yang mencoba melamarnya tetapi ia selalu menolak. Akhlak Muhammad yang begitu mulia member kesan yang mendalam pada diri Khadijah. Kemudian lantas ia memutuskan untuk menikah dengan Muhammad, saat itu Muhammad berumur 25 tahun.

Muhammad meminta nasihat kepada Abu Thalib dan pada akhirnya Abu Thalib menyetujuinya. Dan akhirnya Abu Thalib menikahkan Muhammad dengan Khadijah dengan 500 dirham sebagai maskawin. Dan akhirnya jadilah Muhammad sebagi suami dari Khadijah seorang jada kaya yang terhormat.

Hamba Allah vs Hamba Syetan

العلمات العباد الرحمن


ان العباد هو عباد الرحمن وعباد الشيطين فاماعبادالرحمن :

1- وعباد الرحمن الذين يمشون على الأرض هونا

2- وإذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما(63)

3- والذين يبيتون لربهم سجدا وقياما(64)

4- والذين يقولون ربنا اصرف عنا عذاب جهنم إن عذابها كان غراما(65)

إنها ساءت مستقرا ومقاما(66)

5- والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما(67)

6- والذين لا يدعون مع الله إلها ءاخر

7- ولا يقتلون النفس التي حرم الله إلا بالحق

8- ولا يزنون

ومن يفعل ذلك يلق أثاما(68)يضاعف له العذاب يوم

القيامة ويخلد فيه مهانا(69)

9- إلا من تاب

10- وءامن وعمل عملا صالحا فأولئك يبدل الله سيئاتهم حسنات وكان الله غفورا رحيما(70) ومن تاب وعمل صالحا فإنه يتوب إلى الله متابا(71)

11- والذين لا يشهدون الزور

12- وإذا مروا باللغو مروا كراما(72)

13- والذين إذا ذكروا بآيات ربهم لم يخروا عليها صما وعميانا(73)

14- والذين يقولون ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرةأعين

15- واجعلنا للمتقين إماما(74)





HAMBA AR RAHMAN



HAMBA ITU ADA HAMBA SYAITAN DAN ADA HAMBA ALLAH DAN ADAPUN HAMBA ALLAH ADALAH :



1. BILA BERJALAN, TIDAK SOMBONG.

Sombong itu pekerjaan Iblis, tempatnya di neraka. Nabi mengajarkan Doa : Allahuma ini A'uzu bika minal kibri wal kaba-ir . Tidak masuk surga siapa yang di hatinya ada kesombongan walau hanya sebesar biji sawi.



2. KATA KATANYA, MENYELAMATKAN ( SEJUK)

Kata katanya selalu sopan sekalipun dia dilecehkan orang, kata kata yang layin,yang kariman,yang sadidan, terhadap siapapun, terhadap orang tua tidak boleh berkata kasar sedikitpun.



3. MALAM2NYA BERDIRI DAN SUJUD KPD. ROBNYA

Pada sepertiga malam, dia selalu bangun berdiri solat menghadap Allah,mengadukan segala persoalan hidupnya.memohon ampunan dan rahmat Nya.



4. BERUPAYA MENJAUHI SIKSA NERAKA

Menjauhi semua hal yang dilarang Allah, agar selamat dari siksa neraka, baik dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Dicegahnya dari siksa neraka itu dengan senantiasa tawaso bil haq dan bis sobr.

Bila ada seorang muslim yang menyimpang dari Islam ditegur dan diingatkan. Tidak dibiarkan.

5. TIDAK BOROS DAN TIDAK PELIT

Didalam menafkahkan harta selalu berhati hati, tidak isrof, digunakan untuk mencari Rido Allah,sebab yang menjadi milik dia itu hanya apa yang dimakan, yang dipakai dan apa yang di sodaqohkan. Tidak menjadi sombong karena hartanya, sebab ia sadar bahwa apa yang ada pada dirinya akan ditanya oleh Allah dari mana dia peroleh , dengan cara apa dia peroleh dan untuk apa dia nafkahkan.

6. TIDAK MEMINTA KEPADA SELAIN ALLAH

Ketika dia memerlukan sesuatu dia tidak datang meminta atau bertanya kepa dukun, atau paranormal

Sebab orang yang bertanya kepada dukun dan dia percaya pada apa yang dikatakannya maka solatnya tidak diterima selama 40 hari 40 malam.Dia tidak melakukan tahayul, khurofat, syirik dan bid'ah

7. TIDAK MEMBUNUH YANG DIHARAMKAN ALLAH

Tidak melakukan pembunuhan sekalipun kepada musuh kecuali yang diizin kan Allah,karena setiap jiwa itu wewenang Allah SWT. Tidak membunuh jiwa dalam artian bukan saja bersifat phisik tapi juga yang non phisik. Membunuh orang bisa berarti membunuh karir, membunuh potensi , kehidupannya dll.

8. TIDAK BERZINA

Selalu menjauhi segala bentuk perjinahaa; baik zina hati, zina mata, zina pendengaran, zina lisan zina anggauta badan, apalagi zina dalam artian kontak jasmani antar lawan jenis maupun sesame jenis.



9. SENANTIASA BERTAUBAT KPD.ALLAH

Ia lebih pandai mencari kesalahan dirri sendiri, lalu memohon ampunan dan tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah dilakukan. Tidak mencari cari kesalahan orang lain, apalagi hanya mendengar pengaduan atau informasi sepihak tanpa dilakukan tabayun.

10. SELALU BERIMAN

Yakin akan rububiyah Allah, Uluhiyah Allah, akan sifat dan Nama nama Allah yang mulia dan berusaha mengamalkan sifat sifat Allah pada dirinya.



11. SELALU BERAMAL SHOLEH

Dia yakin bahwa amal yang diterima itu hanyalah Amal soleh, yaitu amal yang ada perintah dari Allah dan ada contoh dari Rosululloh, tidak menambah nambah dan tidak mengurangi. Semua bid'ah dijauhinya secara maksimal. Amal yang dilakuikannya mesti berlandaskan, Lillah, maalloh, ilallah. Sebab amal yang riya, amal yang supaya dilihat, dikagumi , dipuji orang tidak mendapat nilai disisi Allah

12. TIDAK MEMBERIKAN KESAKSIAN PALSU

Tidak memberikan kesaksian yang palsu. Tidak menyebar berita bohong Tidak memfitnah Tidak gibah menjelek jelekan orang lain karena ambisi sesuatu. Tidak menerima informasi sepihak tanpa di tabayun lebih dahulu, supaya tidak terjadi fitnah dan berbuat zalim kepada orang lain

13. TIDAK BICARA YANG SIA SIA ( LAGWUN )

Menjauhi senda gurau yang berlebihan atau bicara tanpa ma'na dan tanpa guna. Nabi bersabda; Jika tidak bicara yang benar lebih baik diam.



14. TIDAK TULI DAN BUTA TERHADAP ALQUR'AN

Tidak bersikap cuek atau sombong jika diingatkan dengan ayat ayat Allah. Sikap yang paling menonjol jika disampaikan Qur'an dan hadist adalah sami'na waatho'na. Allah berfirman : Banrang siapa berpaling

dari qur'an maka baginya kehidupan yang susah, dan diakhirat dibangkitkan dalam keadaan kerja.

15. MENJADI PEMIMPIN ORANG YANG BERTAQWA

Berdo'a dan memohon agar mendapatkan generasi penerus yang melanjutkan perjuangan memimpin orang orang yang bertaqwa, generasi qurani .

Ia Telah Kembali

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. pagi itu, meski langit itu telah menguning, burung-burung gurun enggan mengepakan sayap

pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertaqwalah kepada-Nya. Ku wariskan dua hal  kepada kalian, sunnah dan Al-Qur'an. Barangsiapa yang mencintai sunnahku, berarti mencintai Aku dan kelak orang-orang yang mencintai Aku, akan bersama-sama masuk surga bersama Aku."

khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu-persatu. Abu bakar menatap mata itu dengan bercaka-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Utsman menghela napas panjang dan Ali menundukan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.

"Rasulullah akan meninggalkan kita semua"  desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun mimbar.

saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-dtik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam."bolehkah aku masuk" tanya nya. tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,"maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikan badan dan menutup pintu.

kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya kepada Fatimah, "siapakah itu wahai anakku?" Tak tahu aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu wajahnya seolah hendak di kenang. "ketahuilah, dialah yang menghapus kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikat maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggil Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu." kata Jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, Aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku:"Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya." kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena kesakitan yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai mendingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "uushiikum bi shalati, wa maa malakat ainamanuku. peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah diantaramu"

Di luar pintu tangisan mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan "Ummati, ummati, ummati?" (Ummatku, ummatku, ummatku)

dan, Pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma shalli 'ala Muhammad wa barik wa salim 'alaihi

Rabu, Oktober 07, 2009

Penggaidaian Syariah

Gadai menurut bahasa adalah menggadaikan atau jaminan. Jaminan adalah sesuatu yang diberikan agar kreditur memperoleh kepastian pengambilan atas peminjaman yang diberikan kepada krditur. Sedangkan gadai menurut istilah adalah barang yang dijadikan penangguhan penguat kepercayaan dalam utang piutang, barang itu dapat dijual pada waktu kresitur itu tidak dapat mengganti uang yang dipinjam, hanya penjualan itu hendaklah dengan keadilan.

Gadai dalam fiqh disebut rahn, menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ artinya menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, rahn berarti tetap berlangsung dan menahan sesuatu barang sebagaimana tanggungan utang. Dalam definisinya rahn adalah barang yang digadaikan, rahin adalah orang yang menggadaikan,sedangkan murtahin adalah orang yang memberikan pinjaman.
jadi, pengertian rahn merupakan perjanjian utang piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau ia bisa mengambil sebagian manfaat barangnya itu.
Firnan Allah dalam surt al-Mudatsir (74):38 “ setiap diri bertanggung atas apa yang telah diperbuatnya”, dan surat al-Baqarah (2): 283 “ Hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang”.
A. Landasan Hukum
• Al-Quran : QS. al-Baqarah (2): 283.
• Al-Hadits
Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Rasulullah pernah memberi makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau” (HR.Bukhari dan Muslim).
Dari ana ra berkata, Rasulullah saw menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah).
B. Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Al-Quran dan al-Hadits itu dalam pengembangan selanjutnya oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian, perlu dilakukan pengkajian ulang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya.
Asy-Syafi’i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib ada keputusan. Mazhab maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan borg (Jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika borg sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin), mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat imam Asy-syafi’i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/ membahayakan pemegang gadaian.

Rukun Gadai Syariah
Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai syariah. Rukun gadai tersebut antara lain:
1) Ar-Rahin (yang menggadaikan)
2) Al-Murtahin (yang menerima gadai)
3) Al—Marhun/rahn (barang yang digadaikan)
4) Al-Marhun bih (utang)
5) Sighat, ijab dan Qabul
E. Syarat Gadai Syariah
1) Rahin dan Murtahin
Kemampuan, yaitu berakal sehat.
2) Sighat
a. Sighat tidak boleh dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan.
b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual-beli. Maka tidak boleh diikat syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.
3) Marhun bih (Utang)
a. Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada pemiliknya.
b. Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan,maka tidak sah.
c. Harus dikuntifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau tidak dikualifikasi rahn itu tidak sah.
4) Marhun (Barang)
 Harus diperjualbelikan.
 Harus berupa harta yang bernilai.
 Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.
 Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah unutk digadaikan harus berupa barang yang diterima secara langsung.
 Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai_ setidaknya harus seizing pemiliknya.

Akad Perjanjian Gadai
1. Akad al-Qardhul Hasan yaitu akad yang dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif.
2. Akad al-Mudharabah yaitu akad yang dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja).
3. Akad Bai’al-Muqayyadah yaitu akad yang dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif.

Aspek Pendirian Pegadaian Syariah
Dalam mewujudkan sebuah pegadaian yang ideal dibutuhkan beberapa aspek pendirian. Adapun aspek-aspek pendirian pegadaian syariah tersebut antara lain:
a) Aspek legalitas
b) Aspek Permodalan
c) Aspek Sumber Daya Manusia
d) Aspek Kelembagaan
e) Aspek system dan prosedur
f) Aspek pengawasan
H. Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Konvensional
Persamaannya, antara lain:
 Hak gadai atas pinjaman utang.
 Adanay agunan sebagai jaminan utang.
 Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
 Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai.
 Apabila batas waktu pinjaman uang habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Perbedaanya, antara lain:
Gadai Syariah Gadai Konvensional
a. dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan.
b. berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
c. tidak ada istilah bunga.
d. Dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
a. berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal.
b. hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak.
c. Terdapat istilah bunga.
d. Dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian.

Mekanisme Pegadaian Syariah
Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut :
 Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan.
 Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai.
 Pegadaian syariah menerima biaya gadai, seperti biaya penitipan, biaya pemeliharaan, penjagaan dan biaya penaksiran yang dibayar pada awal tarnsaksi oleh nasabah.
 Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo.

Ketentuan Pegadaian Syariah
• Bila pegadaian memanfaatkan barang gadaian
Pegadaian dilarang memanfaatkan barang gadai sekalipun di-ijinkan orang yang menggadaikan.
• Anak (hewan) gadaian dan manfaat-manfaat gadaian.
Manfaat barang gadaian (hewan) adalah milik nasabah. Anaknya termasuk dalam barang gadaian dan menjadi barang gadaian bersama asalnya, temasukdalam kategori ini adalah anak, bulu, dan susu.
• Borg atau jaminan tetap berada ditangan pegadaian sebelum orang yang menjadi nasabah membayar utang.
• Menyita barang gadaian.
Jika masa telah habis, orang menggadaikan barang berkewajiban melunasi utangnya, jikaia tidk melunasinya dan ia tidak mengijinkan barangnya dijual unutk kepentingannya, hakim berhak memaksakannya unutk melunasi atau menual barang yang dijadikan jaminan.
• Mensyaratkan untuk menjual barang gadaian pada waktu habis masanya.
Jika terdapat persyartan menjual barang gadaian pada waktu habisnya masa, maka ini dibolehkn. Adalah menjadi hak pemegang barang gadaian untuk menjual barang gadaian tersebut.
• Batalnya gadai
Jika telah kembali kepada nasabah dengan ikhtiar pegadaian maka gadai menjadi batal.

Ekonomi Tanpa Riba Sebagai Alternatif

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang haramnya bunga bank. Sementara pihak menyayangkan fatwa MUI tersebut. Bagi ketua BPPN saat itu, Syaefudin Temenggung misalnya, fatwa haramnya bunga bank adalah tidak perlu karena baginya dengan mengutip pendapat Bung Hatta bahwa bunga bank adalah halal kalau untuk kepentingan pembangunan. Begitu juga bagi KH. Abdurrahman Wahid yang berpendapat bahwa bunga bank haram kalau ditujukan untuk kepentingan konsumtif dan halal kalau untuk kepentingan produktif. Terlepas dari pandangan yang kontra terhadap fatwa MUI tersebut, melalui tulisan ini ada beberapa hal yang ingin kita ketengahkan tentang aspek ideologis dan sosiokonomis tentang kondisi realitas yang berkenaan dengan perkembangan ekonomi tanpa riba di dunia dan di dalam negeri.
Ekonomi tanpa riba sesungguhnya mempunyai latar belakang keagamaan yang luas, dimana semua agama samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani) melarang aktivitas ini. Kitab-kitab agama Yahudi dan Nasrani melarang riba sebagai berikut: Antara lain lihat Kitab Ulangan (Deuteronomy) pasal 23 ayat 19, Kitab Keluaran (Eksodus) pasal 22 ayat 25, Kitab Imamat (Levicitus) pasal 35 ayat 7, Injil (Bible) dan Lukas 6:34-35. Sedangkan dalam Kitab Suci Al Qur’an terurai jelas dalam sejumlah ayat antara lain; QS 2: 275-276; 278-279, QS 3: 130; QS 4: 160-161; QS Ar-Ruum : 39 (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas seperti tersebut dalam Shahih Al-Jami’ ash-Shaghir (679)).
Demikian pula para pembuat undang-undang dan filosof seperti Solon, perancang undang-undang Athena lama, dan Plato. Sedangkan Aristoteles memandang bunga, apapun sumbernya, adalah suatu penghasilan yang tidak wajar karena diambil dari jerih payah kerja orang lain. Ia berpendapat bahwa “uang tidak melahirkan uang (dengan sendirinya)” dan barang siapa mengembangbiakkannya dengan kerja maka ia lebih berhak mendapatkan hasilnya.
Dalih-dalih pendukung riba dan kelemahannya
Dalam kesempatan ini perlu juga kita sampaikan apa yang menjadi argumentasi para pendukung riba. Para ekonom pendukung riba berusaha mencarikan dalih-dalih untuk menjustifikasi riba. Mereka berdalih bahwa pemilik uang daripada meminjamkannya, ia dapat membelanjakannya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya yang sekarang dan lebih mendesak dari kebutuhannya yang akan datang. Tetapi ia mengorbankan kebutuhannya yang sekarang dan mengutamakan untuk menunggu. Dengan demikian, ia telah memiliki modal sebagai hasil dari penantian ini. Penantian dan pengorbanan ini harus dihargai. Harga atau buah dari penantian ini adalah bunga. Jadi bunga adalah kompensasi penantian atau kompensasi modal.
Dalih ini dibantah karena dasar pemikirannya sangat lemah. Karena penyimpanan (ungkapan lain untuk penantian atau pengorbanan keperluan yang sekarang) tidak semuanya dengan motivasi mengorbankan kebutuhannya yang sekarang. Sebab kadangkala kebutuhan seseorang telah terpenuhi semuanya sehingga hartanya menumpuk melebihi kebutuhan. Di sini jelas tidak ada penantian atau resiko. Maka atas dasar apa orang seperti ini menerima bunga, selama ia tidak mengalami resiko berupa tidak terpenuhinya kebutuhannya yang sekarang dan tidak bersusah payah menanti untuk memenuhi kebutuhannya yang akan datang?
Para pendukung riba juga berargumentasi: “Sesungguhnya keuntungan yang didapat oleh peminjam dari pengelolaan uang yang dipinjamnya berasal dari hasil perpaduan antara kerja dan modal. Bagaimanakah anda memberikan hak keuntungan bagi pekerja tetapi anda tidak memberikan hak keuntungan bagi modal, padahal modal tersebut adalah patner dan serikatnya dalam hasil ini?”
Jawaban terhadap kesalahpahaman ini, Muhammad Abdullah Darraz menjawab dengan mengatakan: “Adapun keuntungan tersebut memang bukan hasil dari satu unsur tetapi hasil dari dua unsur yang berpadu. Tak diragukan lagi memang demikian halnya. Tetapi para pembantah melihat sesuatu yang esensial dan substansial, yaitu bahwa begitu terjadi kontrak pinjam, maka kerja (pengelolaan) dan modal menjadi berada di tangan satu orang, dan tidak ada lagi hubungan pemberi pinjaman dengan modal tersebut. Bahkan peminjam menjadi pihak yang berwenang sepenuhnya untuk mengelolanya, baik mendapatkan keuntungan maupun kerugian. Seandainya modal tersebut musnah atau bangkrut maka menjadi tanggung jawabnya sendiri. Seandainya kita bersikeras untuk menyertakan pemberi pinjaman dalam mendapatkan keuntungan yang dihasilkan, maka pada saat yang sama kita harus menyertakannya dalam menanggung kerugian yang terjadi. Karena setiap hak pasti ada kewajiban atau seperti yang dikatakan Nabi SAW:
“Pemilikan hasil dan manfaat barang dengan jaminan” (HR. Syafi’i, Ahmad, Ashhabus Sunan, Thayalisi dan Thahawil)”.
“Sedangkan jika kita jadikan timbangan bergerak dari satu pihak, maka hal itu bertentangan dengan tabi’at. Jika kita bersedia menyertakan pemilik modal dalam keuntungan dan kerugian sekaligus, maka persoalannya akan beralih dari topik pinjaman kepada bentuk hubungan bisnis yang lain, yaitu badan usaha bersama yang hakiki antara modal dan usaha. Bentuk syirkah ini tidak dilalaikan oleh undang-undang Islam bahkan diperbolehkannya dan ditatanya dengan nama “mudharabah” atau “qirodh”. Mudhorobah ini adalah suatu bentuk kerja sama (patnership); disatu pihak bank menyediakan dana, sedangkan pihak lainnya (mudharib) menyiapkan keahlian dan manajemen. Setiap keuntungan (profit) yang didapat akan dibagi (sharing) berdasarkan persetujuan sebelumnya antara pihak bank dan mudharib. Namun agar pemilik modal bersedia tunduk pada hubungan kerja macam ini, ia harus memiliki keberanian moral untuk menghadapi masa depan dengan segala kemungkinannya. Ini adalah suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh para investor ribawi karena menginginkan keuntungan tanpa resiko”.
Dengan demikian jika kita berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ekonomi secara rinci, kita hanya punya pilihan antara dua sistem. Sistem dimana pemilik modal dan pengelola saling menanggung bersama dalam keuntungan dan kerugian ataukah sistem dimana pemilik modal hanya ikut serta dalam keuntungan dan tidak ikut serta menanggung kerugian. Tidak ada alternatif ketiga kecuali berupa penggabungan dari kezhaliman dan ketidakadilan”.
Sistem ekonomi moneter dan finansial yang konvensional (ribawi) melahirkan ketidakdisiplinan pasar yang built in (melekat) dalam sistem tersebut sebagaimana yang diungkapkan ekonom muslim Pakistan, M. Umer Chapra (2000) yang mengatakan bahwa ketidakdisiplinan pasar ini terjadi karena sebagai berikut: “Dalam sistem moneter konvensional saham para deposan dan banker tidak dikenai resiko bisnis, namun sistem ini memberikan jaminan kepada mereka dengan pembayaran kembali depositonya atau pokok hutangnya ditambah bunga. Hal ini membuat deposan kurang memperhatikan kesehatan lembaga finansial. Ini juga membuat bank lebih mengandalkan pada jaminan kolateral untuk memberikan pembiayaan; praktis untuk semua tujuan termasuk spekulasi. Namun kolateral tidak dapat menjadi pengganti bagi suatu evaluasi yang lebih hati-hati terhadap proyek yang diberikan pembiayaan. Ini disebabkan nilai kolateral itu sendiri dapat dicederai oleh faktor-faktor yang sama, yang memudarkan kemampuan peminjam untuk mengembalikan peminjaman. Dengan demikian, kemampuan pasar untuk memaksakan disiplin yang diperlukan menjadi rusak dan menimbulkan ekspansi tidak sehat dalam keseluruhan penyaluran kredit, sampai batas yang berlebihan dan mendorong hidup melebihi kemampuan.
Tidak adanya disiplin pasar ini, menurut Chapra akan berakibat sistem finansial internasional telah mengalami beberapa kali krisis selama dua dasawarsa terakhir. Diantaranya yang terpenting (lihat M. Umer Chapra, 2000) adalah jatuhnya bursa saham AS pada bulan Oktober 1987, ledakan pada bursa saham dan property Jepang pada pertengahan dekade 1990-an, jatuhnya mekanisme nilai tukar Eropa pada tahun 1992-93, jatuhnya pasar obligasi pada tahun 1994 dan krisis Meksiko tahun 1995. Ditambah lagi krisis yang menimpa negara-negara Asia Timur pada tahun 1997, jatuhnya Long Term Capital Management di AS pada tahun 1998, serta krisis nilai tukar mata uang Brazil pada tahun 1999. Hampir dapat dikatakan tak ada satu wilayah atau negara yang dapat menghindarkan diri dari dampak krisis itu.
Hikmah diharamkannya Riba
Hikmah dari diharamkannya riba adalah bahwa harta tidak boleh melahirkan harta dan melipatgandakannya, tetapi harus diperoleh dari sumber yang halal, dan dibelanjakan pada haknya. Islam tidak pernah mengecam harta sebagaimana sikap Injil mengecam harta:”Orang kaya tidak akan dapat menembus pintu-pintu langit sampai seekor unta dapat menembus lubang jarum”. Bahkan Islam menegaskan: “Harta terbaik dari yang baik adalah harta yang dimiliki oleh seorang yang sholeh” (HR. Imam Ahmad dan Al Hakim dengan sanad yang baik (jayyid).
Harta yang baik adalah harta yang diperoleh dari sumber yang halal dan dikembangkan secara halal, artinya dengan usaha “legal” yang bermanfaat, baik secara mandiri maupun kerjasama dengan pihak lain (venture).
Berdasarkan ini, Islam mensyariatkan kerjasama antara modal dengan usaha/kerja untuk kepentingan kedua belah pihak, dan sekaligus untuk masyarakat. Sebagai konsekuensi dari kerjasama ini, maka kedua belah pihak seharusnya sama-sama memikul resiko, baik untung ataupun rugi. Jika untung yang diperoleh besar maka penyedia dana (financier) dan pekerja menikmati bersama sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Jika untung kecil maka kecil pulalah bagian keduanya. Seandainya kerugian yang diperoleh, maka haruslah dirasakan bersama yaitu pemilik modal rugi dalam sahamnya dan pekerja rugi dalam energi dan jerih payahnya. Inilah keadilan yang sempurna. Keuntungan sama dinikmati dan kerugian sama dipikul.
Dengan demikian, hikmah yang kelihatan dibalik pengharaman riba adalah mewujudkan persamaan yang adil diantara harta (modal) dengan usaha, serta memikul resiko dan akibatnya secara berani dan penuh tanggung jawab. Inilah pengertian “keadilan Islam”.
Islam tidak memihak kepada usaha dalam memandang modal dan sebaliknya Islam tidak berat kepada modal sehingga menyepelekan usaha. Keduanya berada dalam posisi yang seimbang. Ini juga mencerminkan keadilan Allah yang tidak memihak kepada salah satu pihak.
Perkembangan di Tataran Internasional
Berdasarkan perjalanan sejarah sejak keruntuhan sistem Islam yang mendunia (Khilafah Turki Ustmaniyah di awal tahun 1920-an) sampai memasuki milenium kedua saat ini, setidaknya perkembangan ekonomi Islam dapat dilihat dalam 4 fase sebagai berikut:
Fase Pertama
Fase Justifikasi. Di awal abad ke-20 hingga pertengahan pertamanya, saat itu peradaban Barat berada pada puncaknya kemegahannya, sehingga banyak memikat perhatian. Sementara warisan Islam yang kaya tertimbun oleh debu tebal. Di saat itu, umat Islam dalam keadaan tertekan dan kreasi intelektualitasnya terbelenggu sistem kapitalis, yang berdiri atas dasar riba-mendominasi dunia. Karena itu tidak mengherankan kalau pada fase ini, ditemukan pemikir Islam yang berusaha mencari-cari titik temu antara Islam dengan segala sesuatu produk Barat. Mereka mentakwil-takwil nash yang sudah terang dan jelas (muhkamat) dan kalau perlu merubahnya menjadi nash mutasyabihat (belum jelas dan pasti), dalam rangka men”justifikasi” realita yang ada, yang bukan produk kaum Muslimin dan tidak pula sesuai dengan keinginan hati nurani dan logika mereka.
Fase Kedua
Fase pembelaan (Defensive). Fase ini dimulai ketika sebagian ulama yang memiliki semangat Islam yang tinggi dan memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu haram dan kaum Muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu-membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah dan bukan pada bunga. Yang menonjol dalam pendekatan ini adalah keyakinan yang begitu teguh haramnya bunga bank dan pengajuan alternatif. Masa ini dimulai kira-kira pada pertengahan dekade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan bank Islam lokal yang beroperasi bukan pada bunga. Sementara itu di Mesir juga didirikan lembaga keuangan yang beroperasi bukan pada bunga pada awal dasa warsa 1960-an. Lembaga keuangan ini diberi nama Mit Ghomr Local Saving Bank yang berlokasi di delta sungai Nil, Mesir.
Tahapan ini memang masih bersifat prematur dan coba-coba sehingga dampaknya masih sangat terbatas. Meskipun demikian tahapan ini telah membuka pintu lebar bagi perkembangan selanjutnya.
Pada fase ini ekonomi tanpa riba sudah mulai menjadi alternatif bagi kaum muslimin di dunia, yang dimulai pada akhir dasawarsa 1960-an. Pada tahapan ini para ekonom Muslim, termasuk yang dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serika dan Eropa bersinergi dengan para ulama syariah dan praktisi ekonomi muslim lainnya mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik Muslim maupun non-Muslim. Konferensi internasional pertama tentang ekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional yang baru di London pada tahun 1977. Setelah itu digelar dua seminar tentang Ekonomi Moneter dan Fiskal dalam Islam di Makkah pada tahun 1978 dan di Islamabad pada tahun 1981. Kemudian diikuti lagi oleh konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi Kerja Sama Ekonomi yang diadakan di Baden-Baden, Jerman pada tahun 1982 yang kemudian diikuti Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad pada tahun 1983.
Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan seminar ini digelar, yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Prof. Khurshid Ahmad (lihat Basri,2000), kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar tadi adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang hukum bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini, tetapi juga memberikan pedoman bagaimana menghapuskan riba dari perekonomian.
Fase Ketiga
Fase Pengganti (Alternatif). Fase kedua di atas secara paralel diikuti oleh fase ketiga yang ditandai dengan upaya-upaya konkret untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan nonriba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkret antara usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan Muslim yang memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis nonriba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama kali didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasa sama antara negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tidak lama kemudian disusul oleh Dubai Islamic Bank. Setelah itu banyak sekali bank-bank Islam bermunculan di mayoritas negara-negara Islam, termasuk di Indonesia.
Fase Keempat
Kini ekonomi Islam memasuki tahapan keempat yang ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.
Perkembangan di Tataran Domestik
Di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur tentang deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen). Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan bagi hasil diakomodasikan, maka Bank Muamalat Indonesia merupakan Bank Umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh pendirian Bank-Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang mencukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori pendirian asuransi Islam pertama di Indonesia, yaitu Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada tahun 1997, Bank Muamalat mensponsori Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang kemudian diikuti oleh beroperasinya lembaga reksadana syariah oleh PT. Danareksa. Di tahun yang sama pula, berdiri sebuah lembaga pembiayaan (multifinance) syariah, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company.
Selama lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, praktis tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung sistim beroperasinya Perbankan Syariah. Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa Perbankan Syariah menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku (yang notabene berbasis bunga/konvensional), di Indonesia. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya menjadi tersamar dan Bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistim perbankan nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Perangkat hukum itu diharapkan telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Kini jumlah Bank Umum Syariah di Indonesia telah bertambah dengan telah beroperasinya antara lain Bank IFI Cabang Syariah dan Bank Syariah Mandiri, disamping Bank Muamalat Indonesia dan puluhan BPR Syariah yang telah ada.
Hal ini juga menunjukkan bahwa fatwa MUI tentang haramnya bunga bank sebagai riba mendapat penguatan dari sisi fiqh waqi’ (fiqih realitas), bahwa kondisi realitas perekonomian sudah menyediakan alternatif yang memadai bagi kaum muslimin untuk mengaktualisasikan nilai-nilai islam yang kaffah dalam perekonomian; disamping kondisi waqi’ lainnya bahwa sistem perbankan berbasis riba telah menjadi faktor kunci pengakselarasi kolapsnya perekonomian nasional dalam 5-6 tahun terakhir.